JAKARTA – Pembentukan holding Badan Usaha Milik Negara (BUMN) di sektor energi dengan menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) ke dalam PT Pertamina (Persero) akan membuat infrastruktur gas yang dimiliki kedua perusahaan bisa dimanfaatkan secara optimal demi kebutuhan nasional.

“Semakin banyak gas yang mengalir di pipa akan semakin turun biaya toll fee-nya,” ujar Ibrahim Hasyim, Ketua Alumni Akademi Minyak dan Gas, Kamis (30/6).

Menurut Ibrahim, pipa yang berstatus open access tentu bisa dipakai siapa saja. Dengan bisa digunakan siapa saja, maka kapasitas gas yang dialirkan menjadi besar sehingga biayanya pun bisa ditekan.

“Sudah banyak pipa open access dan dipakai oleh badan usaha lain, yang penting kapasitasnya masih lebih. Kalau sudah penuh, ya harus bangun pipa baru,” katanya.

Perusahaan Gas Negara atau PGN tercatat mengoperasikan jalur pipa distribusi gas sepanjang lebih dari 3.750 km dan jalur pipa transmisi gas bumi yang terdiri dari jaringan pipa bertekanan tinggi sepanjang sekitar 2.160 km yang mengirimkan gas bumi dari sumber gas bumi ke stasiun penerima pembeli. Sayangnya, tidak semua jaringan infrastruktur gas PGN yang open access, sehingga tidak bisa dimanfaatkan oleh produsen gas. Akibatnya, harga jual gas PGN cenderung lebih tinggi.

Pemerintah melalui Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah memutuskan untuk menggabungkan PGN ke dalam Pertamina. Realisasi penggabungan kedua BUMN menunggu terbitnya Peraturan Pemerintah tentang pembentukan holding BUMN.

Kurtubi, Anggota Komisi VII dari Fraksi Nasdem, menegaskan pembentukan holding BUMN akan berdampak pada pengelolaan migas yang menjadi satu kesatuan. Apalagi Indonesia saat ini membutuhkan pembangunan infrastuktur gas yang besar.

“Itu bisa dibangun kalau tidak menggunakan dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN),” katanya.

Menurut Kurtubi, sangat tidak mungkin infrastruktur gas nasional diserahkan dan dikelola oleh PGN. Pasalnya, meski notebene perusahaan negara, 43% saham PGN dikuasai publik yang sebagian di antaranya merupakan perusahaan atau institusi asing.

“Baiknya infrastuktur yang sudah jadi diserahkan ke Pertamina sebagai perusahaan migas nasional, itu bisa terjadi kalau PGN menjadi anak perusahaan Pertamina,” tegasnya.

Harry Poernomo, Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi Gerindra, mengatakan maksud dan tujuan dibentuk holding BUMN secara normatif tentunya baik, namun hasilnya sangat tergantung dari  kebijakan dan manajemen holding migas itu sendiri.

“Kalau manajemen dan kebijakannya baik, tentunya semua pihak akan diuntungkan karena akan tercapai efisiensi dan peningkatan daya saing industri nasional,” tegasnya, Kamis.

Syamsu Alam, Direktur Hulu Pertamina, mengatakan secara umum pembentukan holding akan membuat koordinasi, perencanaan, pengelolaan, dan hasil yang lebih baik. Berbeda dengan ada perusahaan-perusahaan sendiri, banyak pekerjaan yang tumpang tindih dan menjadi tidak efisien.

“Untuk sektor julu, saya kira bisa dilakukan sinergi dan optimalisasi program,” tandas Syamsu.(RA/RI)