JAKARTA – Pembentukan induk usaha (holding) badan usaha milik negara di sektor minyak dan gas dengan menggabungkan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGAS) ke dalam PT Pertamina (Persero) segera terwujud seiring telah ditandatanganinya Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2016 oleh Presiden Joko Widodo.

Komaidi Notonegoro, pengamat energi dari Reforminer Institute, mengatakan meskipun belum cukup tegas, PP 72 dapat menjadi rujukan pelaksanaan holding BUMN.

“Tentu tidak sederhana karena harus ada komunukasi dan urusan korporasi yang harus diselesaikan,” ujar Komaidi kepada Dunia Energi, Rabu (11/1).

Menurut Komaidi, harus ada kesepakatan antara kedua pihak atau lebih yang akan digabung dalam holding karena menyangkut sinergi teknis, aset, SDM, dan finansial.

PP 72 Tahun 2016 tentang perubahan atas PP 43 Tahun 2005 telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 30 Desember 2016 yang berisi penatausahaan modal negara pada BUMN dan perseroan terbatas. Pada pasal 2A ayat 1 disebutkan penyertaan modal negara yang berasal dari kekayaan negara berupa saham milik negara pada BUMN kepada BUMN lainnya dilakukan oleh pemerintah pusat tanpa melalui mekanisme Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Pada ayat 2 disebutkan saham negara pada BUMN yang dijadikan penyertaan modal negara pada BUMN lain, maka BUMN tersebut menjadi anak usaha BUMN dengan ketentuan negara wajib memiliki saham dengan hak istimewa dalam anggaran dasar.

Inas Nasrullah Zubir, Anggota Komisi VI DPR, mengatakan dalam UU Nomor 19 Tahun 2003 pasal 63 memang diatur BUMN dapat digabung atau dapat mengambil alih BUMN lainnya.

“Dalam hal penggabungan PGN ke Pertamina berbentuk penyertaan modal negara ke Pertamina. Artinya pemegang saham di PGN bukan lagi negara, melainkan Pertamina,” ungkap dia.

Menurut Inas, karena adanya perubahan status PGN, maka pemerintah harusnya berkonsultasi dengan DPR dan PP tersebut serta merta merubah status PGN.

Namun dalam Ayat 1 pasal 2A PP 72/2016 menyebutkan, setiap perpindahan aset negara di sebuah BUMN ke BUMN lain atau perusahaan swasta bisa dilakukan tanpa harus melewati pembahasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) alias tanpa perlu persetujuan DPR. Disebutkan pula, perlakuan perusahaan swasta sama seperti BUMN. Sehingga bisa memperoleh penugasan dari pemerintah untuk proyek-proyek strategis yang dibiayai APBN.

Rencana pembentukan holding memang dinantikan dan diharapkan dapat memperlincah gerak korporasi dari BUMN sehingga tidak terjebak dengan keterhambatan yang kerap ada dalam lingkup birokrasi suatu negara. Selain itu, holding juga diharapkan bisa menyinergikan semua operasi Pertamina dan PGN dalam satu kendali perencanaan dan kegiatan operasional sehingga akan lebih efektif dan efisien (RI/RA)