GARUT – Indonesia memiliki potensi panas bumi yang sangat besar, yaitu 29,5 gigawatt (GW) yang tersebar di 330 titik. Namun yang sudah dimanfaatkan melalui Pembangkit Listrik Panas  Bumi (PLTP) baru sebesar 1.948,5 megawatt (MW) atau 6,6% dari potensi.

Untuk mendorong pencapaian target energi terbarukan pada bauran energi nasional 2025, yaitu sebesar 23% dan mempertimbangkan pertumbuhan konsumsi energi cukup tinggi yaitu sebesar 8,4% per tahun, pemerintah menerbitkan Undang-Undang 21 Tahun 2014 tentang Panas Bumi.

Ida Farida, Direktur Panas Bumi Kementerian ESDM, mengatakan sampai periode September 2018 Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) panas bumi melampaui target 2018 yang dipatok sebesar Rp700 miliar. Untuk  bonus produksi panas bumi yang berasal dari pengembang panas bumi untuk diserahkan kepada pemerintah daerah penghasil, sampai dengan kuartal II 2018 telah mencapai Rp185,18 miliar.

“Sampai saat ini PNBP panas bumi sudah sebesar Rp1,14 triliun, melampaui target 163%,” kata Ida dalam acara Sosialisasi Capaian Kinerja Sektor ESDM, di Garut, Jawa Barat, Jumat (2/11).

Ida mengungkapkan kontribusi pengembangan panas bumi di Provinsi Jawa Barat (Jabar) sampai dengan kuartal II 2018 sebesar Rp1,102 triliun. Bonus produksi Provinsi Jawa Barat (Jabar) 2018 sampai kuartal II sebesar Rp30,98 miliar.

Kabupaten Bandung penerima terbesar, yaitu Rp79,06 miliar, dimana masyarakat sekitar Wilayah Kerja/Area PLTP yang diprioritaskan menerima bonus produksi. Bonus produksi Kabupaten Garut periode 2015 sampai kuartal II 2018 sebesar Rp38,69 miliad. Sementara Tasikmalaya baru berproduksi sampai dengan kuartal II  2018 sebesar Rp172,9 juta.

Kapasitas terpasang PLTP di Jawa Barat terdiri dari PLTP Salak di Cibeureum, Parabakti dengan kapasitas 377 MW, PLTP Wayang Windu di Pengalengan dengan kapasitas 227 MW, PLTP Patuha dengan kapasitas 55 MW, PLTP Kamojang dengan kapasitas 235 MW, PLTP Darajat dengan kapasitas total 270 MW, dan PLTP Karaha dengan kapasitas total 30 MW.

“Wilayah Kerja Panas Bumi (WKP) yang masih dalam tahap eksploitasi di Cibuni dengan rencana pengembangan sebesar 10MW,” kata Ida.

Pengelolaan dan pemantauan lingkungan panas bumi memperhatikan beberapa hal, yakni kualitas udara, kebisingan, hidrologi, kualitas air, transportasi dan kerusakan jalan, gangguan flora dan fauna, stabilitas lereng, sampah, Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), dan limbah B3 serta sosial budaya.

Sesuai UU 21/2014 tentang Panas Bumi, penyelenggaraan kegiatan panas bumi menganut azas berkelanjutan dan kelestarian fungsi lingkungan hidup, yang artinya bahwa penyelenggaraan panas bumi harus dikelola dengan baik agar dapat menghasilkan energi secara berkesinambungan dengan tetap memperhatikan dan memelihara kelangsungan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup yang sekaligus menjaga kesinambungan dari energi itu sendiri.

Dari sisi regulasi, baik peraturan perundang-undangan di bidang panas bumi maupun di bidang lingkungan hidup, telah memperhatikan dan mengutamakan aspek lingkungan dengan mewajibkan Pemegang Izin Panas Bumi (IPB) melakukan upaya pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi kegiatan pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan fungsi lingkungan hidup. Hal ini dapat dilaksanakan misalnya melalui pembukaan lahan dan konstruksi yang baik dan benar, penghijauan area sekitar PLTP dan lapangan uap, injeksi brine dan kondensat melalui pipa penyalur, penggunaan instalasi pengelolaan air limbah. Serta pemeliharaan keanekaragaman hayati.(RA)