JAKARTA – PT Bukit Asam Tbk (PTBA) memproyeksikan alokasi belanja modal (capital expenditure/capex) 2018 sebesar Rp6,55 triliun tidak akan terserap seluruhnya hingga akhir tahun. Sejumlah proyek diperkirakan tidak akan terealisasi pada tahun ini dan akan dilanjutkan pada 2019.

Mega Satria, Direktur Keuangan Bukit Asam, mengatakan Bukit Asam menganggarkan investasi sebesar Rp6,55 triliun, terdiri Rp1,32 triliun untuk investasi rutin dan Rp 5,23 triliun untuk investasi pengembangan.

“Sudah terserap di atas Rp1 triliun, untuk pengembangan PLTU (pembangkit listrik tenaga uap) Sumsel 8. Semua capex dari kas internal,” kata Mega di Jakarta, Rabu (14/11).

Menurut Mega, ada proyek-proyek yang mungkin tidak terealisasi tahun ini. Untuk proyeksi penyerapan capex hingga Desember, manajemen akan membahasnya dengan pemegang saham.

Arviyan Arifin, Direktur Utama Bukit Asam, mengungkapkan saat ini perseroan tengah mengembangkan proyek PLTU Sumsel 8 yang merupakan Independent Power Producer (IPP) berkapasitas 2×620 megawatt (MW) di Muara Enim, Sumatera Selatan. PLTU dibangun melalui PT Huadian Bukit Asam Power (PT HBAP) yang merupakan konsorsium antara Bukit Asam dengan China Huadian Hongkong Company Ltd.

Nilai investasi proyek tersebut sebesar US$1,68 miliar dengan skema pembiayaan dari modal sendiri 25% dan utang 75%. Bukit Asam akan menguasai 45% kepemilikan di PLTU Sumsel 8. Sisanya 55% dikuasai China Huadian Hong Kong.

Amendemen PPA (Power Purchase Agreement) dan CSA (Coal Supply Agreement) atas proyek PLTU Sumsel 8 sudah ditandatangani bersama antara PT PLN (Persero), Bukit Asam dan China Huadian pada 19 Oktober 2017. China Huadian bersama China Export Import (CEXIM) Bank juga telah menandatangani Loan Facility Agreement pada 23 Mei 2018. CEXlM Bank akan memberikan pinjaman sebesar 75% dari total biaya proyek atau senilai US$1,26 miliar.

Nantinya, China Huadian juga akan membangun jalur transmisi dari PLTU Sumsel 8 ke Gardu Induk PLN di Muara Enim sejauh 45 km dan mengalirkan listrik ke Sumatera Grid menggunakan jalur transmisi Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV. Konstruksi PLTU diperkirakan memerlukan waktu selama 42 bulan untuk Unit 1 dan 45 bulan untuk Unit II. Commercial Operation Date (COD) ditargetkan pada 2021 untuk Unit 1 dan 2022 untuk Unit II dengan total kebutuhan batu bara sebesar 5,4 juta ton per tahun.

Bukit Asam juga mengembangkan proyek PLTU Halmahera Timur berkapasitas 3×60 MW dan PLTD 3×17 MW. Proyek tersebut merupakan proyek sinergi holding BUMN tambang, yakni Bukit Asam (75%) dengan PT Aneka Tambang Tbk sebesar 25% dan masih dalam proses feasibility study (FS). Pembangkit listrik ini ditujukan untuk menyediakan pasokan energi listrik bagi pabrik feronikel milik Antam yang berlokasi di Kabupaten Halmahera Timur, Provinsi Maluku Utara dengan perkiraan nilai investasi sebesar US$ 419 juta dan konsumsi batu bara 0,65 juta ton per tahun.

Proyek pengembangan lainnya adalah PLTU Pomalaa berkapasitas 2×30 MW dan PLTD berkapasitas 8×17 MW telah beroperasi dalam menyediakan energi listrik bagi pabrik feronikel milik Antam di Pomalaa. Rencananya aset tersebut akan di spin off ke JV Co yang dibentuk oleh Antam dengan perkiraan total nilai transaksi sebesar US$ 228,5 juta dan kemudian akan diakuisisi Bukit Asam (75%) dengan perkiraan nilai akuisisi sebesar US$ 171,4 juta. Saat ini masih dalam tahap feasibility study. PLTU yang berlokasi di Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara ini membutuhkan konsumsi batu bara sebesar 0,3 juta ton per tahun dengan target penyelesaian spin off pada 2019.

Bukit Asam dan BUMN lainnya, PT Angkasa Pura II (AP II) juga akan membangun pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) fotovoltaik sesuai dengan nota kesepahaman 5 September 2018.

“Kami akan mengembangkan PLTS dengan ruang lingkup melakukan analisa dan kajian dalam bentuk studi internal yang akan disepakati bersama. Proyek ini direncanakan akan segera dibangun yang dimulai dengan skala kecil terlebih dahulu,” kata Arviyan.(RA)