JAKARTA – Kebijakan peningkatan nilai tambah mineral (hilirisasi) dan pengelolaan mineral dan batu bara (minerba) yang telah digagas pemerintah dinilai patut diapresiasi. Seleksi dan pengawasan yang terukur untuk membedakan pihak-pihak yang memiliki keseriusan maupun hanya spekulasi, juga harus didukung.
Disan Budi Santoso, Direktur Eksekutif CIRUSS, mengatakan bahwa pembiayaan pembangunan fasilitas pemurnian (smelter) mineral yang cukup besar perlu pendanaan yang memadai untuk memenuhi keperluan ekuitas.
“Pemilik tambang nasional memiliki nilai tawar yang tinggi apabila menggandeng partner dari luar,” kata Disan kepada Dunia Energi, Kamis (7/9).
Disan menekankan bahwa hilirisasi pertambangan tetap harus mempertimbangkan kemampuan pendanaan perusahaan. Negara juga harus memberdayakan perusahaan tambang yang secara finansial tidak terlalu kuat.
Apalagi investor asing dengan dukungan finansial yang kuat bisa dengan mudah menguasai tambang-tambang nasional dengan mudah.
“Jangan sampai karena equitas rendah akhirnya pemilik tambang ditekan dan nilai mineralnya malah lebih rendah dibanding kalau diekspor langsung,” ungkap Disan.
Ignasius Jonan, Menteri Energi Dan Sumber Daya Mineral (ESDM), sebelumnya mengatakan kebijakan hilirisasi dan pengelolaan mineral dan batu bara harus meningkatkan pendapatan negara untuk selanjutnya dipergunakan bagi kesejahteraan rakyat.
Proses hilirisasi harus terjadi di Indonesia, sehingga menghasilkan nilai tambah dan bisa menciptakan lapangan kerja lebih banyak.
Jonan mengingat pembangunan smelter selama ini tidak seperti yang diharapkan, maka harus diberikan kesempatan untuk mewujudkan hal tersebut dalam lima tahun atau hingga awal 2022.
 “Dalam proses pembangunan smelter, pelaku usaha diizinkan untuk mengekspor ore sebagian,” ujar Jonan di Gedung DPR, Rabu (6/9).
Namun, volume ore yang dizinkan untuk diekspor, harus sesuai dengan kapasitas input smelter yang akan dibangunnya.
“Jadi kalau tidak ada pengajuan resmi termasuk dokumen engineering-nya pasti kita tolak. Setiap enam bulan akan dievaluasi, jadi mereka harus mengajukan jadwal setiap enam bulan apakah memenuhi progress yang sudah direncanakannya,” kata Jonan.
Jonan menambahkan, pemeriksaan progress pembangunan smelter akan dilakukan pada bulan kelima. Dalam pemeriksaan tersebut akan diketahui apakah program yang sudah diusulkan berjalan atau tidak.
“Jika tidak jalan ya selesai. Ekspor ore yang dipantau ketat setiap enam bulan sesuai dengan usulan program pembangunan smelter. Jadi intinya apabila dalam enam bulan tidak memenuhi 90% dari target yang diusulkan itu maka kita akan cabut izin ekspornya, karena izin ekspor hanya berlaku setiap enam bulan dan tidak akan diperpanjang lagi,” kata Jonan.
Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, menjelaskan bahwa persyaratan umum yang harus diselesaikan perusahaan untuk mendapatkan izin ekspor yaitu, surat pengabsahan dokumen, pakta integritas untuk melakukan pembangunan fasilitas pemurnian (smelter), salinan sertifikat clean and clear (khususnya untuk IUP), laporan uji lab, pelunasan kewajiban penerimaan Negara non pajak, salinan perjanjian kerja sama (bagi yang bekerja sama), dan rencana pembangunan smelter yang diverikasi oleh verifikator independen dan laporan verifikasi fisik oleh verifikator independen.
“Pemerintah telah menunjuk tiga verifikator independen yaitu surveyor Indonesia, Sucofindo Indonesia, dan Rekin,” tandas Bambang.(RA)