Hikmahanto Juwana.

JAKARTA – Pakar hukum dari Universitas Indonesia (UI) Prof Hikmahanto Juwana, SH LLM mengungkapkan, bentuk Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) yang ada saat ini, belum cukup aman untuk melindungi pemerintah dari gugatan arbitrase.

Hikmahanto menerangkan, SKK Migas belum cukup mampu melindungi pemerintah dari gugatan internasional, karena status lembaga itu masih melekat sebagai bagian dari Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Jika terjadi gugatan arbitrase yang dilayangkan perusahaan migas, dan SKK Migas misalnya kalah dalam proses penyelesaian sengketa di arbitrase, maka aset-aset Pemerintah Indonesia akan ikut disita untuk membayar nilai gugatan. Hal ini mengulang sejarah buruk kasus Karaha Bodas.

“Sebenarnya bentuk yang sudah tepat adalah BP Migas (Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi),” tukas Hikmahanto dalam Diskusi Panel ““Pemahaman dan Pelaksanaan Undang-Undang dan Peraturan Pelestarian Lingkungan Pada Area Eksploitasi dan Eksplorasi Sumber Daya Alam Indonesia” di Jakarta, Selasa, 5 Februari 2013.

Dengan bentuk seperti BP Migas, jelasnya, jika terjadi gugatan internasional dan BP Migas kalah, aset-aset pemerintah tidak ikut disita. Hanya aset BP Migas yang disita untuk membayar nilai gugatan. “Dalam hal ini, BP Migas yang ‘pasang badan’ buat pemerintah,” tandasnya.

Hikmahanto sendiri mangaku kurang sependapat dengan langkah Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan putusan yang berakibat pada bubarnya lembaga BP Migas. Jika alasan MK adalah keberadaan BP Migas rawan menimbulkan potensi korupsi, bukan lembaganya yang harus dibubarkan.

Begitu pun jika problemnya adalah kedaulatan dalam pengelolaan sumber daya alam migas, menurutnya selama BP Migas bekerja sesuai dengan peraturan perundang-undangan, tidak ada sisi kedaulatan yang dilanggar dalam pengelolaan migas nasional.

“Saya masih bertanya-tanya sampai sekarang, yang dipersoalkan MK lembaga BP Migas-nya, atau orang-orang yang ada di dalamnya? Kalau yang dipersoalkan orang-orangnya, bukan wewenang MK dong. Itu wewenang penegak hukum,” tegasnya.

Status BP Migas di waktu yang lalu sebagai BHMN (Badan Hukum Milik Negara) menurutnya juga tidak ada masalah. Status itu sama halnya dengan UI, yang dulu disebut UPT (Unit Pelaksana Teknis)  Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Seiring meningkatnya kemampuan mengelola sendiri manajemennya, kata Hikmahanto, UI kemudian meminta kepada pemerintah agar diberi kedudukan yang otonom dengan status BHMN. Sehingga dalam mengambil keputusan tidak harus selalu menunggu persetujuan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

“Kedudukan otonom itu pula yang diberikan kepada BP Migas, yang lantas menjadi BHMN. Namun sekarang, lembaga itu turun lagi statusnya menjadi Satuan Kerja Khusus dibawah pemerintah, sama seperti UI saat masih berstatus UPT,” tukas Hikmahanto.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)