JAKARTA – Pemerintah akan menindak tegas perusahaan sektor energi, terutama di subsektor mineral dan batu bara serta minyak dan gas sebagai eksportir jika tidak menyalurkan dana hasil ekspor ke dalam negeri. Nantinya sebelum ekspor, perusahaan harus menandatangani letter of credit (LC) sebagai jaminan pemanfaatan dana hasil ekspor.

Letter of credit adalah suatu surat pernyataan yang dikeluarkan issuing bank atas permintaan pembeli atau importir yang ditunjukkan kepada penjual atau eksportir /beneficiary melalui advising atau conforming bank dengan menyatakan bahwa issuing bank akan membayar sejumlah uang tertentu dengan syarat yang telah disepakati sebelumnya.

Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan sumber daya alam (SDA) berdasarkan UUD 1945 dan turunannya jelas dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk rakyat. Baik di UU minerba maupun migas, itu tidak ada dalam bentuk apapun yang dimiliki private atau swasta, termasuk yang mempunyai izin usaha, kalau ekspor uang harus kembali.

“Kalau parkir di luar negeri tak bisa dimanfaatkan untuk dalam negeri. Kami akan terapkan peraturan bahwa satu ekspor semua harus pakai (aturan) LC dari Kemenkeu, dan Kemendag,” kata Jonan saat konferensi pers di Kementerian ESDM, Selasa malam (5/9).

Dengan mekanisme itu, maka pemerintah bisa mengawasi aliran uang yang didapatkan para eksportir. Sehingga bisa dipastikan dana yang dibayarkan ke eksportir masuk ke bank asal Indonesia berkedudukan di luar negeri atau bank luar negeri yang berkedudukan di Indonesia.

“Ekspornya 100% harus kembali ke Indonesia. Boleh dalam bentuk dolar AS atau bisa ditempatkan bank pemerintah di luar negeri. Atau kembali ke sini (bayar di bank asal Indonesia),” ungkap Jonan.

Apabila kedapatan tidak mengembalikan hasil ekspor ke Indonesia maka perusahaan eksportir akan mendapatkan sanksi berupa pengurangan kuota ekspor.

“Kami akan bikin mekanisme, mana buktinya ekspor sekian (pakai LC). Uang kembali atau tidak ada. Terserah bayar gaji atau beli alat. Tidak kembali akan sanksi untuk kurangi kemampuan ekspornya. Jangan hasil alam kita, kita ekspor uang tidak kembali ke sini,” kata dia.

Amien Sunaryadi, Kepala Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu, mengatakan migas pada 2016 mengenai LC sempat dibahas untuk sektor migas, namun akhirnya tidak diberlakukan pada saat itu karena SKK Migas sudah bekerjasama dengan Bank Indonesia dan Dirjen Bea Cukai merancang mekamisme lain. Misalnya minyak di ekspor buyer akan transfer ke rekening bank devisa. Bisa bank asing di dalam negeri atau bank BUMN di negara lain. Ini akan diklarifikasi jumlah ekspor dan KKKS sampaikan data, lalu bank devisa laporkan ke BI. Data Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) dari Bea cukai, SKK Migas lalu diverifikasi, lalu devisa hasil ekspor sesuai dengan PEB. Ketentuan untuk devisa hasil ekspor yang lebih rendah disetorkan dikenakan sanksi administrasi 0,5% untuk 30 hari x 3.

“Jadi apabila eksportir, devisa hasil ekspor yang dimasukkan ke bank devisa lebih kecil dari nilai PEB akan denda. Setinggi-tingginya Rp 100 juta. Ini sistem diberlakukan di akhir 2016,” ungkap Amien.

Sementara untuk sektor Minerba, Bambang Gatot Ariyono Dirjen Minerba Kementerian ESDM menjelaskan

Untuk minerba, LC sempat diterapkan pada 2015-2016. Pada masa itu kriteria disusun dengan Bank Indonesia. Ada beberapa persetujuan langsung diletakkan di bank devisa di Indonesia atau bank asing.

Bambang Gatot Ariyono, Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, mengatakan saat itu Bank Indonesia dan Kemendag belum berhasil memantau minerba. Kini akan dipantau dengan meminta laporan dari perusahan, terpenuhi atau tidak persyaratan bahwa mereka harus menyetorkan uang di bank devisa di Indonesia atau bank BUMN di luar negeri.

“Kalau sanksi lagi diperkirakan itu pengurangan produksi. Kami lihat perbulan berapa, berapa yang pantas diberikan pengurangan produksi,” kata Bambang.(RI)