JAKARTA – Keputusan pemerintah mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis premium hingga akhir 2016 berpotensi makin mendorong peningkatan konsumsi BBM berkualitas, seperti pertalite dan pertamax.

“Sekalipun kebijakan naik turunnya harga BBM terkait dengan harga minyak dunia, tetapi masyarakat masih sulit menerima kalau naik,” ujar Ibrahim Hasyim, Komisioner Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas (BPH Migas), Senin (3/10).

Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Jumat (30/9) menetapkan harga premium tetap bertahan sebesar Rp6.450-Rp6.550 per liter untuk wilayah diluar Jawa, Madura dan Bali (Jamali) dan Jamali. Dengan begitu, harga premium tidak selisih jauh dengan pertalite yang dijual PT Pertamina (Persero) sebesar Rp6.900 per liter dan pertamax Rp7.350 per liter.

 

Menurut Ibrahim, dengan selisih harga yang tetap terjaga, tren konsumsi gasoline masyarakat yang sudah mulai gandrung dengan BBM berkadar oktan (research octane number/RON 90) ke atas bisa tetap terjaga.

_dsc1547

Berdasarkan data Pertamina hingga 20 September 2016 konsumsi premium makin menyusut. Dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan, konsumsi premium tercatat turun 28,75%. Sebaliknya, konsumsi BBM berkualitas, seperti Pertalite, dan Pertamax Series makin membesar. Bahkan, konsumsi harian Pertalite dari 1 hingga 20 September 2016 telah melonjak 282% dibanding konsumsi pada semester I 2016.

Rata-rata konsumsi premium hingga 20 September 2016 tinggal 50 ribu kiloliter (KL) per hari, turun 28,75% dibanding rata-rata konsumsi sepanjang semester I 2016 sebesar 70.183 KL per hari.

 

Di sisi lain, Pertamax Series ( Pertamax, Pertamax Plus, dan Pertamax Turbo) konsumsinya terus meningkat. Jika pada pada semester I, konsumsi rata-rata Pertamax series 9.626 KL per hari, hingga 20 September rata-rata konsumsi naik jadi 15.682 KL perhari.

Selain faktor harga, pilihan BBM berkualitas yang variatif juga telah membuat konsumsi premium terus menurun. Apalagi kesadaran masyarakat terhadap kualitas BBM dan pengaruhnya terhadap kinerja mesin makin tinggi.

“Mesin-mesin baru memberi respons kinerja yang lebih baik pada gasoline beroktan lebih tinggi. Masyarakat memilih gasoline beroktan tinggi dipilih juga karena harganya yang tidak terlalu jauh dengan premium,” kata Ibrahim.

Menurut dia, premium juga tidak lagi disubsidi pemerintah, sehingga tidak lagi berpengaruh terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika saat ini ada yang mengonsumsi premium, bisa jadi karena lebih murah.

“Bisa juga karena ketersediaannya yang lebih luas di seluruh NKRI. Di wilayah tertentu nelayan juga pakai premium,” kata dia.

Ibrahim menambahkan perilaku masyarakat sekarang tidak begitu lagi sensitif terhadap harga karena harga BBM memang lagi rendah. Masyarakat sekarang juga sudah concern terhadap mutu dan kinerja mesin. Ini bisa dilihat dari perilaku pengguna sepeda motor yang sudah  menggunakan gasoline beroktannya lebih tinggi, seperti pertamax dengan RON 92 dan pertalite RON 90.

“Tuntutan teknologi ke depan secara perlahan memang akan mendorong masyarakat untuk memilih gasoline dengan RON 90, 92 dan 95 dan perlahan meninggalkan premium dengan RON88,” tandas Ibrahim.

 

Sementara itu, Pertamina meminta pemerintah untuk menentukan rencana konkret penyaluran premium yang konsumsinya terus turun. “Kami sudah memberi data kepada pemerintah.   Harus jelas peruntukkan premium,” kata Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina.

Gus Irawan Pasaribu, Ketua Komisi VII DPR, mengatakan tren penurunan premium merupakan positif karena produknya juga tidak disubsidi. Pilihan masyarakat yang beralih mengonsumsi pertalite merupakan langkah bijak karena dengan kualitas yang lebih baik, bisa diperoleh dengan biaya yang berbeda tipis dengan premium.

“Secara perlahan premium memang harus dikurangi peredarannya, tapi itu memang perlu keputusan politis kendati sesungguhnya premium itu tidak lagi disubsidi, ” katanya.(RA/RI)