JAKARTA – Pemerintah membatalkan rencana kenaikan harga BBM jenis Premium yang seharusnya mulai diberlakukan pada Rabu (10/10) pukul 18.00 WIB. Pembatalan tersebut dinilai justru bisa dimanfaatkan oknum untuk menaikkan harga kebutuhan sebelum harga Premium naik.

Mamit Setiawan, Direktur Eksekutif Energy Watch, mengatakan kebijakan pemerintah yang mendadak membatalkan rencana kenaikan harga Premium menunjukkan kurangnya koordinasi antara Presiden Joko Widodo dan bawahannya.

Hal tersebut seharusnya tidak terjadi, apabila sudah ada komunikasi terlebih dahulu, sehingga tidak sampai menimbulkan kegaduhan di masyarakat.

“Yang saya takutkan adalah biarpun Premium batal naik, ongkos dan harga barang sudah dikerek lebih dulu,” kata Mamit saat dihubungi Dunia Energi, Rabu (10/10).

Multiplier effect akan langsung dirasakan masyarakat, seperti inflasi daya beli masyarakat akan semakin menurun, ujungnya kemiskinan akan bertambah. Itu semua adalah akibat dari ulah para oknum yang memanfaatkan situasi gonjang-ganjing harga BBM seperti sekarang dengan menaikkan harga berbagai kebutuhan dengan alasan akan ada kenaikan harga BBM.

“Jadi dampak multiplier sangat merugikan masyrakat. Itu yang saya takutkan karena pemerintah seperti memberi sinyal Premium akan naik, tinggal menunggu waktu saja,” kata dia.

Ignasius Jonan, Menteri ESDM, sebelumnya mengumumkan rencana kenaikan harga Premium disela Forum IMF-World Bank di Bali. Harga Premium dari Rp 6.550 menjadi Rp 7.000 per liter untuk wilayah Jawa, Madura dan Bali (Jamali). Serta Rp6.900 per liter di Non Jamali.

Tak lama berselang, Agung Pribadi Kepala Biro Komunikasi Layanan Informasi Publik dan Kerjasama (KLIK) Kementerian ESDM yang mendampingi Jonan di Bali memberitahukan kepada awak media yang berada di Jakarta bahwa berdasarkan arahan Presiden, rencana kenaikan harga Premium dikaji menunggu kesiapan Pertamina.

“Ditunda, mungkin karena menurut kami Pertamina belum siap. Kami evaluasi lagi. Dievaluasi karena Pertamina yang minta (ditunda),” kata Agung melalui sambungan telepon.

Menurut Agung, kebijakan evaluasi harga Premium tidak lepas dari pergerakan harga minyak dunia yang melonjak cukup tinggi hingga menembus US$ 80an per barel.

“Dampak perkembangan minyak dunia maka kemudian dinaikkan. Namun kami melihat situasi kesiapan Pertamina, sehingga kenaikan dievaluasi lagi,” ungkap dia.

Adiatma Sardjito, Vice Presiden Corporate Communication Pertamina, saat dikonfirmasi menyatakan Pertamina butuh pembahasan lebih lanjut dengan pemegang saham, dalam hal ini adalah Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) terkait perubahan harga Premium.

“Pertamina butuh persiapan dan pembahasan dengan pemegang saham. Angkanya (harga) saya tidak tahu. Pasokan tidak ada masalah, masalah harga dan keputusan. Menunggu kesiapan itu konsultasi dulu, harganya bagimana,” kata Agung.

Tahun Politik

Menurut Mamit keputusan merubah harga BBM PSO boleh dibilang sangat krusial apalagi di tahun politik seperti ini. Grasak grusuk pemerintah dalam menetapkan kebijakan BBM sangat berpengaruh terhadap elektabilitas presiden yang akan kembali maju dalam pentas pemilihan presiden tahun depan

“Saat ini sudah memasuki tahun politik. Sangat riskan menaikan sesuatu yang berhubungan dengan PSO. Presiden pasti akan berpikir ulang terkait dengan elektabilitasnya. Maka lebih baik Pertamina yang dikorbankan lagi,” tandas Mamit.(RI)