JAKARTA – Kehadiran Rio Tinto sebagai pemegang 40% hak partisipasi (participating interest/PI) PT Freeport Indonesia dan kemudian menjadi bagian kesepakatan divestasi dengan pemerintah Indonesia dinilai melanggar kontrak karya dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara.

Ahmad Redi, Pakar Hukum Sumber Daya Alam Universitas Tarumanegara, mengatakan Freeport seharusnya tidak pernah mengalihkan hak partisipasi ke perusahaan lain, kecuali kepada pemerintah.

“Ini tentu merugikan pemerintah, karena kewajiban Freeport divestasi langsung kepada pemerintah terhalang pihak lain (Rio Tinto),” kata Redi kepada Dunia Energi, Minggu (22/7)

Menurut Redi, harga saham yang semestinya dibayar pemerintah pun sangat tinggi. Nilai valuasi 51% saham Freeport Indonesia sebesar US$ 3,85 miliar itu meliputi, PI 40% Rio Tinto US$ 3,5 miliar dan saham 9,36% milik Indocopper Investama senilai US$ 350 juta.

“Artinya, valuasi nilai PI Rio Tinto sangat besar. Indocopper (9,36 %) = US$ 350 juta.  Bila dibulatkan, US$ 350 juta x 4 (40%) = hanya US$ 1,4 miliar. Jadi Rio Tinto + Indocopper = US$ 1,4 miliar + US$ 350 juta = US$ 1,75 miliar,” ungkap Redi.

Dia menegaskan tidak ada untung sama sekali membeli saham divestasi Freeport karena kontrak karya akan berakhir pada 2021.

“Ada opsi lain yang menguntungkan, yaitu mengambilalih pengusahaan Freeport oleh pemerintah pasca 2021,” kata Redi.

Pemerintah menargetkan penyelesaian transaksi dan seluruh negosiasi bisa rampung pada 31 Juli 2018 mendatang bertepatan dengan batas akhir status Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) sementara yang diberikan Kementerian ESDM, sebagai syarat bagi Freeport untuk melakukan ekspor konsentrat.

Kesepakatan antara pemerintah yang diwakili PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) dengan Freeport yang tertuang dalam head of agreement (HoA) yang baru saja ditandatangani. Kini proses negosiasi memasuki tahap paling krusial saat Inalum harus menuntaskan transaksi akuisisi yang menelan dana US$3,85 miliar dan manajemen perusahaan kedepan setelah divestasi dimana Inalum menjadi pemilik saham mayoritas Freeport Indonesia.

Menurut Budi Santoso, Direktur Eksekutif CIRUSS, setiap pilihan ada konsekuensinya. Hal yang harus dijaga adalah tambang Grasberg harus tetap beroperasi. Jika ada hambatan karena “dispute” maka kerugian terbesar ada di pemerintah, biaya sosial bisa lebih besar, dan pemerintah bisa kehilangan pendapatan dan (mungkin) harus membayar ganti rugi kalau pemerintah kalah dalam arbitrase.

“Saya kira “pembelian PI” bisa menjadi “biaya kerugian minimum” karena kesalahan masa lalu,” tandas Budi.(RA)