JAKARTA- Meski keran ekspor bijih nikel mulai dibuka kembali oleh Pemerintah Indonesia, pasar komoditas logam ini diprediksi masih tetap stabil karena tingkat suplai yang terbatas dan proyeksi meningkatnya konsumsi. Pada perdagangan Jumat (24/2) pekan lalu, harga nikel kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange menguat 2,6% ke level US$ 10.860 per metrik ton dibandingkan sehari sebelumnya. Peningkatan harga nikel itu setelah sinyal kenaikaan suku bunga AS melemah dan penutupan 23 dari 41 tambang di FIlipina.
Di sisi lain, pelemahan dolar AS memberi dampak pada kenaikan harga nikel. Apalagi klaim pengangguran mingguan di AS juga bertambah 244.000, lebih besar dari sebelumnya 238.000 serta proyeksi 242.000.

Dalam jangka pendek, pergerakan harga nikel dipengaruhi oleh sejumlah data ekonomi China dan AS yang dirilis pada Senin (27/2) ini. Sejumlah analis memperkirakan harga nikel diproyeksikan begerak di level US$ 10.830-10.930 per metrik ton.

Macquarie Research dalam publikasinya yang dirilis baru-baru ini melaporkan, kebijakan pemerintah Indonesia membuka peluang ekspor bijih nikel tidak serta-merta membebani pasar global.

Pada 11 Jauari 2017, Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Beleid ini kemudian diikuti dengan terbitnya dua Peraturan Menteri ESDM, yaitu Permen ESDM no 5/2017 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di dalam Negeri, dan Permen ESDM no.6/2017 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pemberian Rekomendasi Pelaksanaan Penjualan Mineral ke Luar Negeri Hasil Pengolahan dan Permurnian.

Dalam Permen ESDM no.5/2017 tertulis nikel kadar rendah di bawah 1,7% dan bauksit kadar rendah di bawah 42% wajib diserap oleh fasilitas pemurnian minimum 30% dari kapasitas input smelter. Apabila kebutuhan dalam negeri nikel kadar rendah dan bauksit kadar rendah telah terpenuhi, sisanya di jual ke luar negeri.

Sedangkan dalam Permen ESDM no.6/2017, tercantum rencana penjualan ke luar negeri yang memuat, salah satunya jenis dan jumlah mineral Logam yang telah memenuhi batasan minimum pengolahan/nikel dengan kadar <1,7%.

Menurut para analis Macquarie, adanya peraturan tersebut membuat PT Aneka Tambang Tbk (ANTM) dapat mengirimkan bijh nikel dengan kapasitas 70.000 ton per tahun pada 2017 yang berasal dari stok, kemudian berangsur dari penambangan baru. Sedangkan perusahaan lain tidak akan melakukan ekspor.

Macquarie memperkirakan pengiriman bijih nikel dari negara lain tidak akan bertumbuh seperti Indonesia, karena khawatir membuat harga global tertekan. Karena itu, pasar nikel dunia diprediksi tetap stabil sehingga harga tetap berpotensi menguat. “Negara produsen lain mengkhawatirkan produksi dan pengiriman nikel yang lebih tinggi malah menjadi ‘kanibal’ karena potensi rendahnya harga menekan pemasukan,” mengutip riset Macquarie. (DR)