JAKARTA-Penetapan harga bahan bakar minyak nonsubsidi bagi masyarakat mampu seperti Pertamax Series adalah mengikuti mekanisme pasar. Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), mengatakan bila memang harga BBM di pasar mengalami kenaikan, mau tidak mau harga BBM nonsubsidi mesti naik.

“Apalagi, harga minyak dunia mengalami kecenderungan untuk terus naik seperti jenis Brent, yang sudah hampir menyentuh 80 dolar AS per barel. Pelemahan nilai tukar rupiah yang hampir Rp15.000 per dolar AS dan tingginya harga minyak dunia hingga hampir menyentuh 80 dolar AS per barel, makin meningkatkan harga BBM keekonomian,” ujar Bhima di Jakarta, Jumat (14/9).

Menurut dia, penyesuaian harga BBM nonsubsidi bisa dijadikan opsi.”Itu merupakan konsekuensi diserahkan harganya ke mekanisme pasar,” katanya.

Bhima menambahkan kenaikan harga BBM bisa membatasi konsumsinya sehingga impor BBM pun bisa ditekan.

Namun, sebaliknya kalau harga BBM tidak dinaikkan, impor minyaknya akan makin memukul rupiah.

“Setiap impor, kita butuh beli dolar AS. Sebagai negara `net importer` minyak, tiap hari lebih dari 800 ribu barel BBM harus diimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri,” katanya seperti dikutip antaranews.com.

Ditambah lagi, lifting minyak mentah juga terus turun hingga di bawah 800 ribu barel per hari sehingga impor minyak mentah makin membesar.

“Akibatnya, CAD (current account deficit atau defisit transaksi berjalan) akan makin melebar mendekati tiga persen batas aman,” kata Bhima.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, menambahkan dengan kondisi saat ini yakni tingginya harga bahan baku minyak mentah dan pelemahan rupiah, menjadi suatu kewajaran jika pelaku usaha menyesuaikan harga BBM.

“Apalagi, untuk BBM, yang dikonsumsi golongan masyarakat mampu, yang notabene bukan prioritas penerima subsidi, kebijakan harganya sudah selayaknya menggunakan basis bisnis pada umumnya dan diserahkan kepada badan usaha,” katanya. (EP/DR)