JAKARTA – Pemerintah diminta mengkaji mekanisme penetapan harga listrik Energi Baru Terbarukan (EBT). Pasalnya dengan ketetapan saat ini akan sulit memacu investasi EBT sesuai yang ditargetkan.

Halim Kalla, Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Industri (Kadin) Indonesia Bidang EBT, menegaskan kajian perubahan yang diusulkan pelaku usaha sebenarnya sederhana, yakni ada insentif untuk kepastian pengembalian modal diawal dengan penetapan harga bisa diatas 100% dari Biaya Pokok Produksi (BPP).

“Kita harapkan harga EBT ini tidak menggunakan sistem flat tapi regresi,” kata Halim saat ditemui Dunia Energi di Jakarta, Selasa (3/10).

Menurut Halim, dengan metode regresi maka diawal harga lebih tinggi dari 100% diatas BPP, namun itu bisa turun secara bertahap. Pasalnya setiap investor pasti mempertimbangkan bagaimana ada pengembalian modal investasi. Jadi persentase diatas pada awalnya, misalkan 115% dari BPP pada delapan tahun pertama, delapan tahun kedua 100% dan delapan tahun berikutnya baru di bawah 100%.

“Swasta pasti berpikirnya balik modal dulu, lalu baru sumbangan ke pemerintah. Ini kan bagaimana supaya target pemerintah yang 23% energi dari EBT bisa jalan,” kata dia.

Dalam kebijakan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pemerintah menargetkan penggunaan EBT sebesar 23% dari kebutuhan energi nasional .

Pemerintah selama ini mendorong para pengembang listrik swasta (independent power producer/IPP) berbasis EBT untuk menekan harga jual listriknya. Berbagai upaya untuk menemukan formula harga listrik EBT yang tepat terus dilakukan.

Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyatakan pengembangan pembangkit EBT di tanah air harus didorong untuk mengikuti pengelolaan yang dilakukan di Uni Emirat Arab yang bisa menghasilkan harga listrik tidak lebih US$ 3 sen per KWh.

Menurut Halim, pengembangan EBT di Indonesia tidak bisa disamakan dengan di Uni Emirat Arab karena pemerintah di sana memberikan insentif yang sangat besar kepada para investor.

“Mereka diberikan insentif khusus, lahan gratis, fasilitas distribusi listrik infrastruktur sudah siap lalu pembangunannya juga skala besar 2.000-3.000 MW sehingga sangat efisien,” ungkap dia.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform (IESR), menyatakan usulan dari Kadin bisa diaplikasikan sebagai metode penetapan tarif yang bisa menjadi stimulus dengan tujuan menarik investasi.

“Dan model ini untuk memastikan pengembang bisa melunasi kewajiban kepada bank dan off taker tidak terbebani di masa sisa kontrak,” tandas Fabby.(RI)