JAKARTA – Produsen listrik swasta (independent power producer/IPP) hingga saat ini masih kesulitan mencari pendanaan untuk pembangunan pembangkit listrik energi baru terbarukan (EBT). Kalaupun ada, bunga pinjaman yang ditawarkan dinilai terlalu tinggi.

Upaya pemerintah yang mendorong PT Sarana Multi Infrastruktur (SMI) untuk membantu pendanaan ternyata sulit untuk diimplementasikan. Pasalnya,  bunga SMI pun justru lebih tinggi dari yang ditawarkan perbankan nasional yang besarannya sekitar 11%-12%.

“SMI bisa sampai 13,5% karena mereka menambahkan risiko lain-lain, sehingga tambah sekitar 5%,” ujar Sujana Selamat, Wakil Ketua Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) di Jakarta, Jumat (3/11).

Bunga yang tinggi bahkan dibarengi dengan tenor yang terbilang singkat,  yakni hanya lima tahun. Padahal waktu yang dibutuhkan untuk membangun pembangkit listrik mikro hidro (PLTMH),  misalnya dibutuhkan  sekitar tiga tahun.

“Jadi tidak mungkin kita bisa kembalikan dalam waktu dua tahun operasi,” ungkap Sujana.

Upaya pemerintah untuk mendatangkan pinjaman (lender) asing sebagai salah satu solusi pembangunan juga harus dilupakan. Pasalnya persyaratan yang harus dipenuhi para pelaku usaha terbilang memberatkan.

Arya Rezavidi, Ketua Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI), mengakui pemerintah memang pernah memfasilitasi para lender asing untuk mendanai investasi EBT di Indonesia, termasuk melalui SMI.

Dalam penjajakan tersebut para lender menawarkan bunga 2% per tahun, namun syaratnya proyek yang dikerjakan minimal nilainya harus US$50 juta.

“Bisa melalui Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau dikerjasamakan dengan BUMN,” kata Arya.

Pemerintah selama ini menginginkan harga listrik murah dengan cara menekan harga jual listrik dari IPP. Namun dengan adanya berbagai kesulitan dalam berinvestasi, biaya yang harus dikeluarkan IPP justru makin membangkak.

Menurut Sujana, hal ini segera disadari pemerintah sebagai salah satu penghambat terbesar dalam pengembangan EBT. Pemerintah seharusnya mendorong perbankan nasional untuk bisa ikut mendanai investasi energi masa depan sekaligus peningkatan peetumbuhan ekonomi karena memang itulah tujuan utama pendirian bank nasional.

“Bank pemerintah kan ada untuk menumbuhkan ekonomi, kalau dia kasih rate 11% itu harusnya jadi acuan,” tandas Sujana. (RI)