JAKARTA – Pemerintah meminta PT PLN (Persero) meningkatkan efisiensi dan melakukan negosiasi harga jual beli listrik yang kompetitif. Hal ini bertujuan agar tarif listrik bisa diturunkan pada semester kedua tahun ini.

“Terhadap penjualan listrik atau terhadap tarif listrik yang ditawarkan oleh semua perusahaan independent power plant, itu harus betul-betul efisien. Jadi PLN sendiri dan Kementerian ESDM itu akan review semua investasinya,” kata Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) di Jakarta, Rabu (5/7).

Jonan menegaskan dalam review yang dilakukan, pemerintah juga tidak akan menekan produsen listrik swasta (independen power producer/IPP) terlalu keras karena keberlangsungan investasi juga diperlukan.

“Kalau rugi dia (IPP) juga pasti tidak mau. Tapi kita akan coba menjaga suatu harga yang fair, investasi yang fair, supaya ini tarif listriknya bisa makin lama, makin turun,” ungkap dia.

Menurut Jonan penurunan tarif listrik menjadi sangat penting dan diamanatkan khusus Presiden Joko Widodo karena langsung berhubungan dengan kepentingan masyarakat, baik rumah tangga ataupun untuk golongan Industri. Dengan tarif yang kompetitif maka akan tercipta daya saing lebih sehat sehingga kegiatan ekonomi juga bisa menjadi lebih efisien.

Pemerintah menargetkan bisa menurunkan tarif listrik industri rata-rata Rp 1.100/KWh dan hingga 2020 diharapkan bisa menjadi Rp 800/KWh hingga Rp 900/KWh.

“Bagaimana golongan rumah tangga, dari sekitar Rp 1.400/KWh yang tekanan rendah kita akan berusaha untuk turun. Jadi makin lama efisinsi bisa dicapai,” kata Jonan.

Adapun beberapa langkah efisiensi yang diminta pemerintah kepada PLN di antaranya dengan menurunkan Biaya Pokok Produksi (BPP).

Jonan menjelaskan salah satu tantangan terbesar untuk menurunkan BPP adalah penggunaan mata uang dolar Amerika Serikat yang sudah terlanjur dilakukan antara PLN dan IPP sehingga kurs mata uang sangat berpengaruh terhadap BPP. PLN ditargetkan bisa menrunkan BPP dimulai pada 2019 – 2020 dimana banyak sudah banyak kontrak IPP yang sudah berjalan.

“Paling murah sampai 2019 turun pelan-pelan 5%. Kalau tidak bisa ya minimal sampai 2020. Ini upaya tidak mudah, karena banyak kontrak IPP yang sudah jalan itu enggak bisa diubah,” tandas dia.(RI)