JAKARTA – Harga gas industri di Indonesia yang rata-rata saat ini  sebesar US$8-US$10 per Million Metric British Thermal Unit (MMbtu) dinilai lebih mahal dibanding dengan negara-negara ASEAN.
Achmad Safiun, Ketua Forum Industri Pengguna Gas Bumi, mengatakan tingginya harga gas untuk industri memicu penghentian operasi sejumlah perusahaan.
“Dulu ada 140 perusahaan sarung tangan latex, sekarang tinggal enam,” kata Safiun dalam diskusi yang digelar Ikatan Sarjana Teknik Industri Dan Manajemen Industri (ISTMI) di Jakarta, Rabu (13/12).
Faizal Safa, Ketua Umum ISTMI, mengatakan sektor industri telah menjadi motor utama penggerak perekonomian nasional dengan kontribusi PDB Nasional sebesar 17,98%. Antara lain melalui tiga industri utama yaitu industri makanan dan minuman dengan rata-rata kontribusi 5,32% per tahun; industri alat angkut rata-rata kontribusi 1,96% per tahun serta industri barang logam, komputer, elektronik, optik dan peralatan listrik rata-rata kontribusi 1,90% per tahun. Ketiga cabang industri tersebut menjadi motor penggerak utama sektor industri nasional.
“Besarnya peran tersebut menandakan terjadinya penguatan struktur industri ke arah produksi bernilai tambah tinggi dan penggunaan teknologi produksi yang lebih tinggi,” kata Faisal.
Lebih lanjut Faisal mengatakan bahwa industri perlu dilihat secara menyeluruh, baik dari sisi industri premier, sekunder maupun tersier. Dan hal ini tentu dapat dilakukan dengan peran pemerintah untuk membantu meningkatkan industri Tanah Air.
“Pertumbuhan industri energi hilir yang sustainable secara tidak langsung turut mendukung peningkatan produktivitas dan daya saing industri manufaktur nasional,” ujar dia.
Adi Munandir, Head of Marketing PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk, mengatakan harga gas PGN masih kompetitif. Perlu  dukungan pemerintah apabila harus dilakukan penyesuaian harga gas industri.
“Tidak hanya dari badan usaha saja, harus ada penyesuaian dari pemerintah. PGN beli gas dari hulu saja sudah lebih dari US$6 per MMbtu.  Saat ini Kementerian ESDM sedang melakukan efisiensi  atau optimasi harga jual gas bumi dengan melakukan tata kelola gas, misalkan rencana melakukan revisi Permen 19 sehingga mengurangi penjualan bertingkat, kemudian pengaturan harga jual gas melalui Permen harga jual gas hilir,” kata Adi.(RA)