JAKARTA – Rencana pemerintah mematok harga gas untuk pembangkit listrik dinilai akan sulit direalisasikan tanpa dukungan kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sebagai produsen gas. Pada dasarnya pelaku usaha memilih berbisnis tanpa pembatasan harga jual gas. Apalagi kebijakan tersebut juga akan berdampak pada keekonomian.

“Belum tentu bisa jalan, karena menyangkut hitungan keekonomian bagi pelaku usaha. Pelaku usaha kalau disuruh milih, ya pasti lebih memilih yang dia bisa menjual tanpa dibatasi harganya,” kata Pri Agung Rakhmanto, Pengamat Migas dari Universitas Trisakti, Jumat (18/5).

Wacana untuk mematok harga gas khusus bagi pembangkit listrik mengikuti skema yang diterapkan pada batu bara muncul lantaran harga gas saat ini masih dianggap tinggi. PT PLN (Persero) sebagai off taker utama memilih untuk menggunakan bauran energi lain yang lebih murah.

Andy Noorsaman Sommeng, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan harga ideal yang kemungkinan akan dipatok untuk gas dalam negeri bagi pembangkit listrik itu sekitar US$7 per MMBTU.
Patokan harga tersebut mencakup US$3 MMBTU – US$ 3,5 per MMBTU harga di sumur gas, lalu saat masuk Liquifed Natural Gas (LNG) mencapai US$ 5,5 per MMBTU. Kemudian ongkos keliling dikenakan US$ 1 per MMBTU.

“Ya, idealnya US$ 7 per MMBTU. Mudah-mudahan tahun ini, karena kalau tidak PLN nanti bagaimana, mau BPP-nya tergerus lagi?” kata Andy.

Pemerintah, kata dia, akan mendorong PLN untuk melakukan pembahasan business to business (B to B) dengan produsen gas. Namun belum bisa dipastikan aturan seperti apa yang akan dikeluarkan untuk memayungi negosiasi tersebut.

“Kami mau cobanya internal, kemudian B to B dulu dengan KKKS biar lebih cepat. Sebenarnya payung hukum sih berdasarkan UU, konstitusi, energi, ketenagalistrikan,” ungkap Andy.

Menurut Pri jika dilihat dari sisi penerapan melalui regulasi bisa saja dilakukan, namun yang harus jadi perhatian bagi pemerintah adalah bahwa perlu ada kesepakatan dengan para pelaku usaha agar iklim investasi yang juga sudah berusaha diperbaiki tidak lagi terganggu.

Apalagi jika langsung ditetapkan maka pemerintah harus berhadapan dengan perubahan kontrak yang sudah berjalan dan memiliki kekuatan hukum.

“Kalau pertanyaannya bisa tidak kebijakan itu diterapkan, jawabannya bisa. Makanya, saya katakan bisa (diterapkan), tapi tidak dengan mengubah kontrak. Kontrak baru. Kalau kontrak yang sudah berjalan, ya berarti harus amendemen kontrak,” tandas Pri.(RI)