JAKARTA – Pemerintah tengah mengevaluasi biaya pengembangan proyek Jambaran Tiung Biru sebagai komponen pembentuk harga gas untuk bisa diefisiensikan. Pasalnya, harga gas dari proyek yang dikembangkan PT Pertamina EP Cepu (PEPC) dan Exxonmobil masih dianggap terlampau tinggi.

Arcandra Tahar, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan harga gas Jambaran Tiung Biru harus bisa sesuai dengan kemampuan penyerap gas, yakni PT PLN (Persero) sebagai off taker utama.

“Ada strategi, dari sisi teknologi dan commerciality diperbaiki. Teknologi kalau tepat nanti bisa lebih murah. Jadi harganya yang mampu PLN beli sebagai off taker,” kata Arcandra di Jakarta, Senin (10/7).

Kajian bersama Satuan Kerja Khusus Pelaksana Tugas Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) dan Pertamina EP Cepu-Exxon menyebutkan harga gas dari Jambaran Tiung Biru sangat tinggi di Plant Gate.

Fatar Yani Abdurrahman, Deputi Operasi SKK Migas, mengungkapkan jika dirujuk sesuai dengan keekonomian proyek maka harga gas bisa sekitar US$ 11 per MMBTU.

“Kita masih tersangkut di monetisasi, karena harga terlalu mahal akibat biaya pengembangannya terlalu tinggi. Ini sampai US$11 per MMBTU,” ungkap Fatar.

Tingginya harga gas membuat siapapun peminat gas Jambaran Tiung Biru langsung mengurungkan niat. PLN yang kini diandalkan untuk bisa menyerap juga menegaskan bisa menjadi off taker utama dengan syarat harga gas paling tinggi sebesar US$ 7 per MMBTU.

Adriansyah, Direktur Utama Pertamina EP Cepu, mengakui tingginya biaya pengembangan proyek Jambaran Tiung Biru. Untuk menekan harga bisa dilakukan, namun risikonya tidak kecil dan saat ini tengah dipertimbangkan.

“Masih ada ruang untuk efisiensi capex, tapi kalau kita lakukan risikonya akan lebih tinggi,” kata dia.

Menurut Adriansyah, apabila perusahaan mengeksekusi proyek sebesar Jambaran Tiung Biru risiko terbesar adalah cost over run atau schedule over run. Ketidakpastian tersebut tentu akan bertambah dengan adanya pemangkasan anggaran.

“Jika cost ditekan sekarang, ketidakpastian terhadap dua risiko tersebut muncul masih besar,” tukas dia.

Adriansyah berharap segera ditemukan jalan keluar dan solusi yang bisa diterima, baik oleh pemerintah maupun kontraktor. Karena semakin lama keputusan diambil maka potensi kerugian proyek juga semakin besar.

“Semakin terlambat diputuskan risiko schedule over run makin tinggi. Padahal kalau mulai awal tahun sebetulnya kami punya ekstra waktu untuk memanage jika terjadi schedule over run,” tandas Adriansyah.(RI)