JAKARTA-Rencana pemerintah untuk menurunkan harga gas untuk industri hingga 30% menarik untuk dicermati. Pernyataan yang dilansir Menteri Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said pada satu sisi akan mengurangi beban industri yang selama ini mengandalkan gas sebagai sumber energi. Penurunan harga gas itu menguntungkan dunia industri karena penggunaan gas sebagai sumber energi memberi kontribusi 10%-15% terhadap biaya produksi.

Sebagai bahan baku, kontribusi gas bisa mencapai 80% biaya produksi. Harga gas industri di Indonesia memang tinggi, bahkan tertinggi di Asia Tenggara, yakni US$9–US$10 per juta british thermal unit (MMBTU). Harga tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan Singapura (US$4-5), Malaysia (US$4,47), Filipina (US$5,43), dan Vietnam (US$7,5). Tingginya harga gas bumi dapat terjadi antara lain karena masih berlakunya paradgima gas sebagai komoditas sumber penerimaan negara.

Dengan menjadi komoditas, harga ditargetkan tinggi sehingga harga gas untuk energi dan industri terbawa ikut tinggi. Paradigma ini memang sudah diubah sebagaimana tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yang menjadikan gas bumi sebagai modal pembangunan.

Dalam Paket Kebijakan Ekonomi Tahap III yang dirilis 7 Oktober 2015, pemerintah akan menurunkan harga gas untuk pabrik menjadi US$ 7 per millin metric britishthermal unit (MMBTU) mulai 1 Januari 2016. Penurunan harga gas yang menjadikan gas sebagai modal pembangunan itu berpotensi mengurangi penerimaan negara dari sektor tersebut. Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian ESDM IGN Wiarmaja Puja mengatakan penurunan harga gas itu menyebabkan berkurangnya penerimaan negara Rp 6,6 triliun. Namun terjadi peningkatan penerimaan pajak Rp12,3 triliun dan manfaat ekonomi Rp68,95 triliun.

Kementerian Perindustrian pernah mensimulasi penurunan harga gas industri guna mengkaji perannya terhadap perekonomian. Jika harga gas industri turun 10% menjadi US$9,5 per MMBTU, penerimaan negara berkurang Rp 8,15 triliun. Namun terjadi peningkatan pajak Rp 12,9 triliun dan kenaikan output perekonomian Rp72,4 triliun.

Menurut Marwan Batubara, Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS), jika harga gas turun 20%, penerimaan negara turun Rp16,3 triliun. Sebaliknya penerimaan pajak meningkat Rp25,9 triliun, sedangkan output perekonomian naik Rp144,8 triliun. Hal ini menunjukkan gas sebagai sumber penerimaan negara dengan harga tinggi memberikan keuntungan di awal, tapi melemahkan daya saing industri nasional di pasar global.

Sebaliknya, dengan menjadikan gas sebagai modal pembangunan untuk meningkatkan daya saing dengan harga yang kompetitif, semula akan menurunkan penerimaan negara. Akan tetapi akhirnya akan terjadi efek berganda yang menghasilkan peningkatan penerimaan pajak dan kenaikan output perekonomian yang jauh lebih besar.

Menurut dia, harga gas bumi ditentukan oleh komponen harga pada tiga mata rantai bisnis gas yaitu sisi hulu (lapangan gas), sisi tengah (transportasi), dan sisi hilir (niaga konsumen akhir). Formulasi harga gas perlu ditetapkan secara terintegrasi dengan mempertimbangan aspek kelayakan dan keberlanjutan bisnis pada semua sisi.

“Harga gas harus menarik bagi investor untuk berinvestasi di sisi hulu, mendukung pembangunan infrastruktur transmisis dan distribusi, termasuk penerima LNG di midstream, dan insentif untuk niaga hilir dan pengembangan jumlah konsumen,” katanya.

Harga gas alam di pasar global untuk pengiriman tiga bulan di London Metal Echange turun dan berada di level US$ 2 per MMBTU pada pekan lalu. Ada sejumlah faktor yang membuat harga gas alam di pasar global tertekan, antara lain penguatan mata uang Negeri Paman Sam. Permintaan gas alam tergerus karena komoditas ini diperdagangkan dalam dollar AS yang kian mahal. Lihat saja indeks dollar AS pada Jumat (27/11) yang terangkat 0,23% dibandingkan hari sebelumnya menjadi 100,02.

Penguatan dolar AS juga disokong oleh rilis data Prelim GDP per kuartal III 2015 yang tumbuh 2,1%, lebih baik dibandingkan data sebelumnya 1,5%. Data tersebut menguatkan spekulasi kenaikan suku bunga acuan oleh Bank Sentral AS alias The Fed pada Desember 2015.

Di luar itu, pelemahan harga gas bumi juga ditopan rencana Bank Sentral Eropa alias European Central Bank (ECB) yang akan menggelar pertemuan pada Kamis (3/12) untuk membahas perekonomian Benua Biru tersebut. ECB berencana menggelontorkan stimulus sebesar US$ 1,1 milliar untuk menggairahkan pasar. Namun, aksi tersebut menjadi bukti bahwa perekonomian Eropa masih melemah sehingga permintaan gas alam kian menyusut.

Belum lagi proyeksi China yang bakal merilis data manufaktur (Caixin Manufacturing PMI) per November 2015 yang diprediksi 48,3. Data di bawah level 50 menandakan manufaktur Tiongkok masih kontraksi sehingga berpotensi menekan permintaan dan harga gas alam. Pasalnya, China merupakan produsen serta pengguna komoditas terbesar di dunia bersama dengan Eropa dan AS.

Kebutuhan gas alam juga diperkirakan belum terangkat dalam waktu dekat karena suhu sebagian wilayah di Amerika Serikat diperkirakan masih di atas batas normal hingga 9 Desember 2015.

Saat permintaan gas alam belum membaik, suplai komoditas tersebut menggemuk. Pekan lalu, persediaan gas alam AS naik 7 miliar kaki kubik menjadi 4,009 triliun kaki kubik. Pertumbuhan suplai ini sudah terjadi selama 34 minggu. (dr)