JAKARTA – Setelah berhasil melampaui level US$1.300 per ounce, harga emas diperkirakan akan menguji level tertinggi tahun lalu di level US$1.375 per ounce. Penguatan harga emas akan didorong ketidakpastian tentang kebijakan suku bunga Amerika Serikat, ketegangan geopolitik, batas atas utang, ancaman untuk membubarkan NAFTA, dan rendahnya kepercayaan terhadap kemampuan Presiden AS Donald Trump untuk melaksanakan janjinya terkait reformasi legislatif.

“Saya perkirakan momentum beli akan meningkat tajam dan investor mungkin bahkan akan membidik potensi untuk menguji level tertinggi 2016. Terlepas dari kenaikan emas yang tiba-tiba, masih banyak alasan lainnya untuk terus optimis terhadap logam mulia,” ujar Jameel Ahmad, Vice President of Market Research FXTM, Rabu (30/8).

Kontrak emas berjangka di divisi COMEX New York Mercantile Exchange melonjak ke tingkat tertinggi sejak September lalu pada Selasa (Rabu pagi WIB) seiring ketegangan geopolitik meletus kembali di sekitar Semenanjung Korea.

Kontrak emas paling aktif untuk pengiriman Desember, naik US$3,60 atau 0,27% menjadi US$1.318,90 per ounce.

Jameel mengatakan emas diuntungkan oleh ketegangan peluncuran misil Korea Utara dan saat ini telah melampaui US$1.320 per ounce untuk pertama kalinya sejak November 2016.

“Perlu diperhatikan bahwa sebagian besar peningkatan harga emas di awal hari ini terjadi sebelum Korut meluncurkan misil,” ungkap Jameel dalam laporannya.

Kondisi ini menunjukkan sejumlah faktor lainnya yang memperkuat emas. Faktor ini antara lain ketidakpastian reformasi Presiden Trump, termasuk ketidakpastian baru terkait penggantian Janet Yellen pada akhir masa jabatannya sebagai Ketua Dewan Gubernur Fed dengan tokoh yang memiliki visi yang lebih selaras dengan Trump berkaitan dengan deregulasi keuangan.(AT)