JAKARTA – Kebijakan pemerintah untuk terus mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Solar hingga makin jauh dari harga keekonomiannya berpotensi menekan kinerja keuangan PT Pertamina (Persero) pada 2018. Apalagi jika harga minyak dunia terus bergerak naik diatas US$60 per barel.

Elia Massa Manik, Direktur Utama Pertamina, mengatakan ketiadaan penyesuaian harga BBM untuk Premium dan Solar yang dipatok Rp 6.450 per liter dan Rp 5.150 per liter sejak 2016 hingga Maret 2018 dipastikan membuat Pertamina menanggung selisih dari perbedaan harga ketetapan pemerintah dan harga keekonomian. Beban selisih harga tersebut dipastikan mempengaruhi profitabilitas sehingga akan memberikan pengaruh terhadap kas perusahaan.

“Beda harga ada di angka hampir Rp 1.000 (Premium) dan Solar beda harganya Rp 1.550. Lalu tentu perbedaan harga ini akan mempengaruhi profitabilitas,” kata Massa pada rapat dengar pendapat dengan Komisi VII DPR di Jakarta, Kamis (18/1).

Menurut Massa, dampak pada keuangan Pertamina tidak hanya akan dirasakan pada tahun ini maupun tahun depan, namun akan tetap akan terasa pada tahun-tahun berikutnya. Pertamina juga diperkirakan tidak akan mampu lagi melakukan investasi dalam jumlah besar.

“Kalau tahun ini kami masih untung, tapi mungkin nanti ada dampak ke depan apabila Pertamina menjalankan misinya untuk mengejar ketertinggalan kami, yaitu kapasitas investasi akan terkena dampaknya,” ungkap dia.

Pertamina dalam data simulasinya menyebutkan kenaikan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) sebesar US$ 1 per barel akan menyebabkan EBITDA terpangkas US$ 52 juta per tahun dan laba bersih terpangkas US$ 55 juta per tahun. Selain itu, jika rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat sebesar Rp 100 maka EBITDA perusahaan terpangkas US$ 48 juta per tahun dan kehilangan laba US$ 41 juta per tahun.

Dengan asumsi ICP US$ 48 per barel serta harga Premium dan Solar tetap maka proyeksi laba bersih Pertamina 2018 sebesar US$ 2,4 miliar. Pada 2019, laba bersih akan anjlok menjadi US$ 1,5 miliar dan 2020-2022 berturut-turut sebesar US$ 1,4 miliar, US$ 1,2 miliar dan US$ 1,5 miliar.

Laba bersih Pertamina diproyeksi akan semakin tergerus jika asumsi ICP berada diposisi US$ 60 per barel, seperti kondisi saat ini, turun dibandingkan proyeksi laba bersih 2017 yang mencapai US$2,2 miliar.

Arif Budiman, Direktur Keuangan Pertamina, mengungkapkan beban perusahaan pada dua tahun mendatang akan cukup besar, untuk terutama untuk mengembalikan kewajiban (membayar utang).

Direksi Pertamina saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VII DPR, Kamis (18/1).

“Nanti dampaknya bukan hanya pada tahun ini atau 2019. Kan kami utang sekarang tidak langsung bayar semua, tapi agak ke belakang sedikit,” tandas Arif.(RI)