Pemerintah tetap mempertahankan harga BBM jenis Premium dan Solar hingga Maret 2018, meski harga minyak dunia terus merangkak naik.

JAKARTA – Komisi VII DPR meminta pemerintah memberikan kompensasi kepada PT Pertamina (Persero) dalam bentuk lain sebagai akibat kebijakan harga BBM yang seharusnya dievaluasi setiap tiga bulan dengan memperhatikan harga minyak dunia. Tidak adanya penyesuaian harga BBM jenis Premium dan Solar saat harga minyak dunia terus naik dipastikan akan mempengaruhi kinerja keuangan Pertamina.

Satya Widya Yudha, Wakil Ketua Komisi VII DPR, mengatakan Komisi VII tidak keberatan dengan keputusan pemerintah yang tidak menaikkan harga BBM hingga kuartal pertama 2018. Namun keputusan tersebut harus dengan memperhatikan kemampuan keuangan Pertamina agar tetap sehat secara finansial.

“Selanjutnya Komisi VII DPR mendesak Dirjen Migas Kementerian ESDM untuk membuat kebijakan fiskal yang tidak merugikan Pertamina,” kata Satya, Kamis (18/1).

Kebijakan kompensasi dengan memberikan blok minyak dan gas ke Pertamina juga dinilai tidak selalu tepat lantaran butuh biaya besar untuk mengelolanya. Apalagi beban Pertamina akan semakin bertambah besar jika harga minyak terus naik dan harga BBM Premium dan Solar tidak ikut dievaluasi.

Berdasarkan simulasi Pertamina, dengan asumsi tidak ada perubahan harga dan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) masih ditetapkan US$48 per barel sesuai APBN 2018 maka debt service corporate ratio (DSCR) atau rasio utang terhadap pendapatan perseroan pada 2018 diproyeksikan berada posisi 5,5, turun dibanding 2017 di level 6.
Pertamina juga mensimulasikan dengan posisi harga minyak di kisaran US$ 65-US$ 70 per barel dan ICP US$ 65 per barel maka DSCR hanya 5 dan ini akan terus menurun hingga empat tahun kedepan hingga berada di posisi 2 pada 2022.

Arif Budiman, Direktur Keuangan Pertamina, mengatakan posisi DSCR sejak tahun lalu hingga tahun ini masih terbilang cukup aman, namun jika kondisi seperti sekarang dibiarkan terus maka DSCR juga akan terus melorot. Ada keunikan sendiri di perusahaan migas dalam memproyeksikan DSCR. Berbeda dengan PT PLN (Persero) yang sudah ada kepastian mengenai tarif, sehingga kalkulasi bisa dihitung sementara perusahaan migas berpatokan dengan harga minyak dunia yang pergerakannya fluktuatif.

“Kalau minyak naik turun, jadi kami juga harus jaga-jaga ada buffer-nya, kami ideal 3,5 kalau 4 lebih baik,” ujar Arif.

Elia Massa Manik, Direktur Utama Pertamina menegaskan sebagai perusahaan negara sudah sewajarnya Pertamina didukung pemerintah dan itu terjadi diseluruh negara di dunia. Namun pada prakteknya, Pertamina justru diperlakukan sama seperti perusahaan lainnya.

Selama ini juga belum ada kesamaan cara pandang berbagai stakeholder dalam menilai bisnis Pertamina sebagai perusahaan milik negara.

Massa mencontohkan Pertamina telah menjalankan impor minyak setiap hari selama sekitar 60 tahun untuk melayani kebutuhan BBM, tapi setiap tiga bulan tetap harus mengurus perizinan. Proses berbelit tersebut tentu memakan waktu yang ujungnya menimbulkan inefisiensi.

Untuk mendukung Pertamina tidak perlu harus menunggu legalitas, berupa Revisi Undang-Undang Migas. “Impor BBM harus lewat pintu ini, pintu itu, Pertamina tidak ada bedanya sama perusahaan lain. Mungkin cara pandang ini yang berbeda. saya kira tidak perlu UU Migas, harus ada perbaikan,” kata Massa.(RI)