JAKARTA – Kondisi keuangan PT Pertamina (Persero) berpotensi makin tertekan seiring dengan keputusan pemerintah untuk mempertahankan harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Premium dan Solar untuk periode Juli hingga September 2017.

Berly Martawardaya, Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, mengatakan harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) sebesar US$ 49 per barel sudah diatas rata-rata asumsi pemerintah US$ 45 per barel. Keputusan pemerintah untuk tidak menyesuaikan harga BBM tentu membuat Pertamina menanggung selisih antara harga keekonomian dan harga yang telah ditetapkan.

“Prinsipnya kalau ada penugasan yang makan biaya maka perlu ada tambahan dana juga atau pemakluman akan turunnya laba atau dividen kepada pemerintah,” kata Berly kepada Dunia Energi, Senin (3/7).

Pemerintah mempertahankan harga BBM jenis Premium sebesar Rp6.450 per liter dan Solar sebesar Rp5.150 per liter. Harga tersebut berlaku mulai 1 Juli hingga akhir September 2017.

Ignasius Jonan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mengatakan keputusan mempertahankan harga BBM sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo.

“Sudah ada (penetapannya) per 1 Juli. BBM penugasan, Premium RON 88, pemerintah menetapkan harga ecerannya tidak naik tetap Rp6.450 sampai 30 September. Kalau yang Public Service Obligation (PSO), Solar juga tetap Rp5.150,” kata Jonan.

Pertamina sebelumnya menyebutkan jika harga BBM ditetapkan berdasarkan harga sesuai formula pemerintah dengan fluktuasi harga minyak dunia saat ini maka seharusnya harga Premium yang sesuai keekonomian adalah sebesar Rp 7.500 per liter.

Menurut Berly, kebijakan yang bisa memastikan Pertamina tidak melanggar Undang-Undang BUMN juga perlu dipertimbangkan, misalnya saja dengan menambahkan modal usaha. Hal itu dinilai wajar karena beban tugas Pertamina cukup besar.

“Kebijakan kan tidak hanya ada satu kebenaran. Jika tidak dinaikkan maka perlu ada tambahan PNM ke Pertamina,” ungkap dia.

Pertamina pada kuartal I 2017 membukukan pendapatan US$ 10,15 miliar, naik 19% dibanding periode yang sama 2016 sebesar US$ 8,55 miliar. Namun laba bersih turun 24,75% menjadi US$760 juta dibanding kuartal I 2016 sebesar US$1,01 miliar.

Kenaikan harga minyak dunia memberi andil terhadap penurunan kinerja keuangan Pertamina. Rata-rata ICP yang pada kuartal I 2016 sebesar US$ 30,32 per barel, naik menjadi US$51 per barel pada kuartal I 2017.

Kenaikan harga minyak yang disatu sisi mengangkat kinerja perseroan di sektor hulu, namun disisi lain justru menjadi beban di sektor hilir. Pasalnya, Pertamina mendapat tugas untuk mendistribusikan BBM jenis Premium dan Solar. Premium yang tidak lagi mendapat subsidi, namun harganya tetap ditentukan pemerintah.

Harry Poernomo, Anggota Komisi VII DPR, mengapresiasi keputusan pemerintah untuk tidak menaikkan harga BBM. Kepentingan masyarakat harus tetap di nomor satukan diatas kepentingan korporasi. Untuk itu, pemerintah harus memikirkan jalan keluar terhadap dampak dari kebijakan tersebut.

“Masyarakat tetap yang utama, kebijakan yang ada memang harus berpihak kepada rakyat. Pertamina kan juga bagian dari negara,” tandas Harry.(RI)