PARA pelaku industri batubara boleh sedikit tersenyum. Maklumlah,  pada November 2016, harga batubara acuan (HBA) yang ditetapkan pemerintah Indonesia sebesar US$ 84,89 per ton, naik signifikan 23% dibandingkan Oktober 2016 yang tercatat US$ 69,07 per ton. HBA November 2016 ini adalah rekor tertinggi sejak Mei 2013 yang tercatat 85,33 dolar per ton.

Sejak Januari 2009, HBA tertinggi tercatat US$127,05 per ton pada Februari 2011, sedangkan terendah Februari 2016 pada US$50,92 per ton. Sepanjang 2016, HBA berfluktuasi, yakni Januari mencapai US$53,2 per ton, Februari US$ 50,92, Maret US$51,62, dan April US$52,32. Selanjutnya, HBA Mei US$51,2, Juni US$51,81, Juli US$53, Agustus US$58,37, September US$63,93, Oktober US$69,07, dan November US$84,89.

Perhitungan HBA ditetapkan atas rata-rata empat indeks harga batubara yang umum digunakan dalam perdagangan, yaitu Indonesia Coal Index, Platts59 Index, New Castle Export Index, dan New Castle Global Coal Index. HBA pada November 2016 tercatat sebagai harga tertinggi sejak Mei 2013 yang saat itu ditetapkan sebesar US$ 85,33 per ton

Direktur Utama PT Adaro Energy Tbk (ADRO) Garibaldi Tohir, salah salah satu pelaku bisnis batubara yang bersyukur atas tren peningkatan harga batubara belakangan ini. Menurut orang nomor satu  di emiten pertambangan batubara di Bursa Efek Indonesia dengan pangsa pasar terbesar, pemulihan yang terjadi di pasar batubara sangat menggembirakan. Apalagi, permintaan terus bergerak positif menyusul pasokan untuk mendukung pergerakan pasar menuju penyeimbangan kembali.

“Kami yakin Adaro berada di waktu dan tempat yang tepat untuk menangkap momentum ini karena perusahaan telah meningkatkan basis sumber daya dan portofolio produknya,” ujar Garibaldi usai peluncuran buku Soetaryo Sigit; Membangun Pertambangan untuk Kemakmuran Indonesia di Tempo Scan Tower, Jakarta Selatan, Senin (7/11).

Garibaldi menyebutkan kenaikan harga batubara tersebut tetap diwaspadai karena dikhawatirkan beersifat temporer (sementara) karena belum ada kepastian atas perbaikan kondisi harga batu bara secara permanen. “Terpenting bagi kami adalah kondisi ini sustainable tidak? Saya selalu mengatakan kalau harga jual tidak bisa prediksi,” katanya.

Adaro Energy, menurut Garibaldi, tidak ingin terlena dengan kenaikan harga batu bara. Karena itu, perusahaan tetap konsisten melakukan efisiensi untuk menekan berbagai biaya‎, agar sepak terjang perusahaan bisa lebih baik di tengah kondisi harga batu bara yang belum pasti.

“‎Saya konsisten bahwa selama ini kami sudah berupaya sedemikian rupa menekan cost dari produksi kita dengan efisien dan segala macam,” ujarnya.

Hingga akhir kuartal III 2016, Adaro berhasil mencatatkan peningkatan laba bersih 16,16% menjadi US$209,1 juta setara Rp2,7 triliun dibandingkan periode sama taun lalu US$180 juta kendati pendapatan turun 15,8% menjadi US$ 1,77 miliar dari periode sama tahun lalu US$ 2,11 miliar. Peningkatan net profit tersebut ditopang oleh turunnya beban pokok pendapatan (COGS) perusahaan sebesar 21,67% menjadi US$ 1,31 miliar dibandingkan periode hingga akhir kuartal III 2015 yang tercatat US$ 1,67 miliar.

Tak hanya Adaro yang menyikapi positif tren kenaikan harga batubara.  Kementerian  Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pun sumringah  atas kondisi tersebut.  Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Bambang Gatot Aryono bahkan menilai kenaikan harga batubara saat ini bakal meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari batubara dan mencapai target sebesar Rp 30,1 triliun hingga akhir tahun ini.

Bambang juga optimistis target produksi batu bara sebesar 400 juta ton pada 2016 tercapai. Namun, dia belum dapat memastikan apakah kenaikan harga batubara akan terus berlanjut atau hanya terjadi sesaat saja. “Kenaikan harga terjadi karena pengurangan jam kerja dan penutupan tambang-tambang batu bara di China. Kalau kebijakan itu tidak dilanjutkan oleh Pemerintah China, tentu harga batubara akan kembali turun,” katanya.

Faktor China
Andy Wibowo, analis PT Daewoo Securities Indonesia, memperkirakan harga batubara masih akan menjadi komoditas yang menjanjikan hingga tahun depan. Hal itu dipengaruhi oleh sistem perbankan China yang ditaksir masih akan mengintervensi perusahaan yang menggunakan bahan bakar batu bara untuk menjaga likuiditas perbankan mereka. “Pemerintah China masih akan mengintervensi pemerintah dari sektor batu bara,” ujarnya.

Riset Daewoo Securities memperlihatkan pada 2015 harga batu bara anjlok hingga mencapai US$ 50 per ton sehingga hal tersebut menyebabkan pertumbuhan kredit macet (non-performin loan/NPL) di China pada saat itu naik cukup tinggi hampir mencapai 2,55 persen. Karena itu, pemerintah Cina mengambil kebijakan untuk mengintervensi harga batu bara dengan cara mengurangi produksi dan impor.

Agar sektor batubara meminjam di bank lancar, lanjut Andy, harga batubara harus tinggi dan itu hanya bisa terjadi bila ada intervensi pemerintah. Hal ini secara tidak langsung  akan mendorong negara pengekspor batubara seperti Indonesia ikut mengurangi suplai ekspor. “Harga jual batubara acuannya harga global. Kalau China menurunkan produksinya, berarti harga global naik, kita secara tidak langsung terbantu China,” ujarnya.

Hingga musim dingin nanti permintaan batubara dari China diperlkirakan tetap rendah. Karena itu harga batu bara diperkirakan hingga akhir tahun dapat mencapai US$ 110 per ton. Rendahnya permintaan batubara itu karena satu dari tiga pembangkit listrik di Cina—thermal, hidro, dan nuklir—yakni pembangkit listrik hidro, tidak dapat berproduksi. Padahal di negara tersebut, pembangkit listrik tenaga hidro menempati posisi kedua setelah thermal, disusul tenaga nuklir.

Ibrahim, Direktur Garuda Berjangka, mengakui produksi batubara China yang terus merosot memicu kenaikan harga batubara global. Produksi batubara China anjlok 12% pada September 2016. “Padahal ini sudah memasuki musim dingin dan biasanya permintaan akan naik tajam di musim dingin,” ujar Ibrahim.

Hal ini sejalan dengan laporan National Development & Reform Commission China, bahwa pada akhir September 2016, stok batubara turun 14% dibandingkan periode sama tahun lalu. Untuk stok yang tersedia di pembangkit listrik utama China hanya di kisaran 64,5 ton atau cukup untuk 21 hari masa kerja saja.

Berdasarkan analisis Energy Information Administration (EIA) permintaan batubara global akan tetap tinggi hingga 2040, dengan catatan permintaan naik sekitar 0,4% per tahun. Apalagi, dari survei produsen batubara, 73% optimistis hingga 2–3 tahun ke depan, India akan tetap mengimpor batubara untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Mari kita tunggu,  seberapa jauh harga batubara global akan terus meningkat? (DR)