JAKARTA – Harga batu bara acuan (HBA) yang telah menembus US$100 per barel masih belum mencerminkan harga sesungguhnya. Pasalnya, harga batu bara telah naik signifikan dalam beberapa bulan terakhir.

Hendra Sinadia, Deputi Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia, mengatakan kenaikan harga dalam beberapa bulan terakhir lebih banyak dipicu kebijakan pemerintah China yang mengurangi jam kerja di perusahaan batu bara sehingga produksi turun. Padahal disisi lain, permintaan meningkat terutama di musim dingin.

“Kemungkinan besar harga tidak sustain karena ada potensi pemerintah China akan meninjau kembali kebijakan tersebut,” ujar Hendra kepada Dunia Energi, Jumat (9/12).

Ekspor batubara tahun lalu turun

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menetapkan harga batu bara acuan (HBA) pada Desember 2016 sebesar US$101,69 per ton. HBA Desember naik 19,79% dibanding HBA pada November yang mencapai US$84,89 per ton.

Sepanjang 2013 hingga jelang 2016 harga batu bara terus mengalami penurunan. HBA bahkan pernah mencapai level terendah US$ 50,92 per ton pada Februari 2016.

Budi Santoso, Direktur Ekskutif Center for Indonesia Resources Studies (CIRUSS), mengatakan kenaikan harga umumnya memang dikaitkan dengan kebutuhan energi, baik kebutuhan rumah tangga maupun industri. China diketahui membatasi produksi batu bara dalam negeri, dan memilih mengimpor batu bara untuk menutupi kebutuhan pembangkit listrik dan industri.

“Kenaikan ini juga sedang menunggu kebijakan ekonomi Donald Trump terhadap China. Apalagi Trump sudah menyatakan Taiwan adalah sekutu AS. Ketika impor dari Cina turun, maka otomatis kebutuhan energi turun,” kata Budi.(RA)