JAKARTA– Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) meminta proses akuisisi PT Pertamina Gas (Pertagas), anak usaha PT Pertamina (Persero) di sektor hulu-hilir gas oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) selesai paling lambat Agustus 2018. Fajar Harry Sampurno, Deputi Bidang Pertambangan, Industri Strategis Kementerian, dan Media Kementerian BUMN, mengatakan pihaknya berharap semua pihak bisa melaksanakan secara baik apa yang sudah diputuskan pemerintah terkait perusahaan induk (holding company) BUMN Migas.

“Hal itu termasuk soal skema konsolidasi Pertagas dengan PGN, yang bertujuan untuk menetapkan PGN sebagai subholding bisnis gas Pertamina,” katanya di Jakarta, Minggu (20/5).

Dia menjelaskan, pada tahap awal pembentukan holding migas, sempat terbuka tiga opsi skema konsolidasi PGN dan Pertagas, yaitu merger, inbreng (penyertaan atas saham) Pertamina di Pertagas ke PGN, dan akuisisi saham Pertagas oleh PGN.

“Di antara tiga pilihan tersebut, Kementerian BUMN pada akhirnya menjatuhkan pilihan pada skema akuisisi, dengan alasan lebih cepat dibandingkan dengan merger,” katanya seperti dikutip Antara.

Fajar memperkirakan, proses akuisisi rampung dalam empat bulan sejak holding BUMN migas resmi didirikan pada 11 April 2018, atau tepatnya rampung Agustus 2018. Sementara itu, bila lewat merger prosesnya bisa satu tahun lebih.

“Opsi merger memang lebih murah karena tidak memerlukan dana tunai untuk menyelesaikannya, tetapi mendelusi otoritas kedua perusahaan. Sementara itu, akuisisi memerlukan dana dalam jumlah besar, tetapi memberikan otoritas absolut pada pihak pembeli,” kata Fajar.

Dia menyebutkan, terbitnya restu Kementerian BUMN agar PGN mengakuisisi Pertagas sudah melalui pertimbangan dan evaluasi yang matang.

Data Kementerian BUMN memperlihatkan, PGN memiliki jumlah aset produktif yang lebih banyak dibandingkan Pertagas yang sekarang merupakan anak usaha Pertamina. Selain itu, PGN telah mulai merintis pembangunan jaringan pipa gas di Indonesia sejak 1974. Sampai akhir kuartal I 2018, PGN mengoperasikan 7.453 kilometer (km) pipa gas, sedangkan Pertagas baru mengelola pipa gas sepanjang 2.438 km. Secara keseluruhan, panjang pipa yang dioperasikan PGN setara dengan 80 persen total jaringan infrastruktur pipa gas di Indonesia.

Dari infrastruktur tersebut, PGN bisa menyalurkan 1.505 MMscfd gas bumi ke 196.221 pelanggan, mulai dari rumah tangga, UMKM, sampai pelanggan industri, yang tersebar bukan hanya di Pulau Jawa tetapi juga di Sumatra Utara, Kepulauan Riau, Sumatra Selatan, Lampung, Kalimantan Utara, sampai Sorong di Papua.

Namun, kinerja PGN kalah moncer ketimbang Pertagas. Sepanjang 2017, Pertgas berhasil memperoleh laba bersih US$ 141 juta. Padahal targetnya hanya sekitar US$ 125 juta. Sedangkan PGN membukukan laba bersih sebesar US$ 143,1 juta atau Rp 1,92 triliun, anjlok 52,96% dibandingkan dengan 2016 yang sebesar US$ 304,32 juta.

Sepanjang tahun lalu, perusahaan berkode emiten PGAS ini mencatatkan pendapatan sebesar US$ 2,97. Raihan ini tumbuh 1,36% dibanding periode yang sama tahun 2016 yang sebesar US$ 2,93 miliar. Pendapatan perusahaan tersebut terutama diperoleh dari hasil penjualan gas sebesar US$ 2.404,6 juta dan penjualan minyak dan gas sebesar US$ 472,8 juta.

Sepanjang 2017, Pertagas juga memiliki beberapa kegiatan, di antaranya adalah memulai pembangunan pipa gas open access (akses terbuka) ruas Grissik – PUSRI. Pipa yang akan digarap Konsorsium PT Rekayasa Industri/Rekind dan PT Wahanakarsa Swandiri sebagai kontraktor pelaksana ini berguna untuk memasok gas untuk kebutuhan energi dan bahan baku PT Pupuk Sriwidjaja (PUSRI) di Sumatera Selatan.

Pertagas juga mulai menjadi pengelola terminal penerimaan dan regasifikasi gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG). Terminal ini merupakan revitalisasi dari sebelumnya kilang yang memproduksi LNG. Pengubahan ini karena pasokan gas sudah tidak ada lagi untuk diekspor ke Jepang dan Korea Selatan. (DR)