Sidang kasus bioremediasi Chevron yang dipimpinan Hakim Sudhamawati Ningsih.

Sidang kasus bioremediasi Chevron yang dipimpinan Hakim Ketua Sudhamawati Ningsih.

JAKARTA – Penasehat hukum karyawan PT Chevron Pacific Indonesia dalam kasus bioremediasi, Maqdir Ismail mendesak agar Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang menangani perkara itu untuk terbuka pada fakta, dan tidak mengedepankan prasangka dalam mengadili terdakwa.    

Desakan ini diungkapkan Maqdir, karena pada sidang-sidang perkara proyek bioremediasi Chevron yang telah berlangsung, tampak sekali Majelis Hakim yang diketuai Sudharmawati Ningsih, hanya berupaya mencari pembuktian atas dakwaan Jaksa Penuntut Umum.

Sangat kuat juga kesan, Hakim Ketua Sudhawarmawati Ningsih, ingin mencari pembenaran atas vonis bersalah, yang sebelumnya sudah dijatuhkan kepada dua terdakwa Ricksy Prematuri dan Herland bin Ompo. Keduanya adalah pimpinan perusahaan kontraktor Chevron dalam proyek bioremediasi.  

Akibatnya, keterangan sejumlah ahli dan saksi yang dihadirkan dalam persidangan, kerap tidak didengarkan secara teliti. Padahal dalam pengadilan kasus pidana, Majelis Hakim mestinya obyektif dan mengedepankan praduga tidak bersalah.

Maqdir pun mengaku kecewa, dengan sikap majelis hakim yang cenderung merasa puas atas jawaban atau keterangan yang mendukung prasangkanya, serta terkesan mengabaikan keterangan dan fakta-fakta yang berseberangan.

Maqdir mencontohkan ketika sidang untuk terdakwa Endah Rumbiyanti berlangsung, Hakim Ketua Sudharmawati Ningsih melontarkan pertanyaan yang sama berulangkali, kepada ahli hukum dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf.

Hal ini, lanjut Maqdir, sempat diprotes karena pertanyaan hakim sudah dijawab dengan jelas dan diterangkan oleh ahli, tapi hakim terkesan mengharapkan jawaban yang berbeda. Saat diprotes penasehat hukum, Sudharmawati pun sempat meminta maaf.

“Saya menghormati permintaan maaf yang disampaikan oleh Sudharmawati Ningsih atas tindakan beliau yang kami protes. Artinya beliau menyadari bahwa tindakannya keliru,” ungkap Maqdir di Jakarta, Rabu, 29 Mei 2013.

Sekedar Mencari Pembenaran

Maqdir  pun menjelaskan contoh lainnya pada sidang terdakwa Kukuh Kertasafari. Selain mengambil alih pertanyaan jaksa, Hakim Ketua Sudharmawati Ningsih juga sangat kentara ingin mendapatkan pembenaran atas dugaannya.

Saat itu, Sudharmawati mengajukan pertanyaan yang sama berulang kali dan cenderung tendensius, kepada saksi Manager Land Chevron, Sukamto. Dalam persidangan itu Sukamto dihadirkan sebagai saksi, menyangkut tanda tangan dan kewenangan Kukuh dalam pembayaran atas klaim masyarakat.

Maqdir menceritakan, saat hakim ketua bertanya dan dijawab oleh Sukamto bahwa hanya yang memiliki DOA (Delegation of Authority) yang berwenang menyetujui pembayaran, dan itu bukan kewenangan Kukuh. Sukamto juga menjelaskan, mekanisme itu merupakan kebijakan perusahaan.

Mendengar jawaban Sukamto, hakim ketua bertanya lagi secara berulang perihal jawaban Sukamto tersebut. Sukamto yang dicecar pertanyaan memojokkan berulang-ulang, masih tetap menjawab bahwa hal tersebut merupakan kebijakan perusahaan.

“Sudharmawati Ningsih kemudian bertanya kembali, apakah tertulis dalam kebijakan perusahaan bahwa Kukuh tidak berwenang? Dijawab Sukamto bahwa tidak ada tertulis seperti itu, namun begitulah penafsirannya,” ungkap Maqdir.

Tak puas dengan jawaban itu, dengan nada sinis Sudharmawati Ningsih bertanya lagi, “kalau tidak tertulis berarti itu hanya pemahaman Anda?,” kata Sudharamawati bertubi-tubi dengan nada menyimpulkan.

Karena tidak siap dengan cecaran bertubi-tubi seperti itu, Sukamto pun menjawab pasrah, “ya itu pemahaman saya,”. Mendengar jawaban terakhir Sukamto, Sudharmawati terlihat puas dan berhenti bertanya. Maqdir menilai cara Hakim Ketua mencecar Sukamto ini tidak patut.

“Sangat jelas terkesan, upaya-upaya hakim mencari jawaban yang diinginkan, bukan mencari fakta-fakta kebenaran. Menurut kami, ada hukum yang tertulis dan tidak tertulis. Pertanyaan hakim, ibarat menanyakan apakah ada peraturan tertulis karyawan tidak boleh membawa pulang komputer kantor? Biarpun tidak tertulis, semua orang juga tahu komputer kantor tidak boleh dibawa pulang,” tandasnya.

Diatur Kode Etik

Ia pun mengingatkan, dalam putusan bersama Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) tentang kode etik dan pedoman perilaku hakim, disebutkan hakim dalam menangani perkara tidak boleh berprasangka dan harus menjunjung tinggi upaya untuk memperoleh fakta-fakta, daripada sekedar mencari jawaban-jawaban yang diharapkan untuk menguatkan dugaan hakim.

Saat ini, tiga karyawan Chevron yakni Kukuh, Widodo, dan Endah Rumbiyanti masih terus menjalani persidangan. Satu karyawan lagi, Bachtiar Abdul Fatah, berkasnya dilimpahnya ke Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan, meski sebelumnya ia sudah dinyatakan tidak terkait kasus bioremediasi oleh putusan Praperadilan. Maqdir pun berharap, pada sidang-sidang bioremediasi berikutnya, hakim benar-benar mencari fakta. Bukan sekedar mencari pembenar atas dakwaan jaksa, apalagi berprasangka.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)