Sidang kasus bioremediasi Chevron.

JAKARTA – Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang menangani kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia didesak membentuk tim ahli, guna menilai ada atau tidaknya unsur korupsi dalam perkara tersebut.

Desakan ini terungkap dalam Focuss Group Discussion (FGD) bertema “Teknologi Bioremediasi dan Masa Depan Penerapannya Pada Industri Migas” di Jakarta, Rabu, 9 Januari 2013. Pakar hukum administrasi negara, Dr Dian Puji N Simatupang, SH MH yang hadir sebagai pembicara dalam diskusi itu menjelaskan, sejak awal proyek bioremediasi Chevron dinaungi oleh Production Sharing Contract (PSC) minyak dan gas bumi (migas) yang merupakan ranah perdata. Kalau terjadi perselisihan, seharusnya diselesaikan tetap dalam ranah hukum perdata.

Ia mengutip asas hukum yang berbunyi “suatu tindakan yang muncul dari ranah hukum tertentu, misalnya hukum administrasi atau hukum perdata, harus diselesaikan dengan jalur hukum yang sama”. “Sehingga langkah Kejaksaan Agung membawa kasus bioremediasi Chevron ke ranah pidana, sebenarnya sudah bertentangan dengan asas hukum,” jelasnya.

Disamping itu, selama persidangan yang telah berlangsung beberapa kali, Jaksa Penuntut Umum tidak bisa menunjukkan bukti kerugian negara yang didakwakan. Menggiring kasus bioremediasi ke ranah pidana, kata Dian, hanya mengakibatkan ketidakpastian hukum di Indonesia utamanya dalam investasi di sektor migas.

Maka dari itu, Dian Puji mendesak agar dalam persidangan berikutnya pada Jumat, 11 Januari 2013, Pengadilan Negeri dalam hal ini Majelis Hakim yang menangani perkara itu memutuskan untuk membentuk tim ahli, guna menilai ada atau tidaknya unsur korupsi dalam proyek bioremediasi Chevron. Hal ini diatur oleh pasal 139 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT).

Dalam pasal 139 UU PT disebutkan, Pengadilan Negeri dapat menolak untuk melanjutkan suatu kasus, apabila ditengarai ada ketidakjelasan atau itikad tidak baik atas pengajuan suatu kasus ke pengadilan. Pengadilan dapat membentuk tim ahli yang terdiri dari tiga orang, untuk memeriksa dan mencari kelengkapan data atas suatu kasus yang dituduhkan.

Hal senada diungkapkan pakar hukum pidana, Dr Mudzakkir SH MA, yang juga ditunjuk oleh pengadilan sebagai salah satu saksi ahli dalam kasus tersebut. Ia mengungkapkan, sejak awal sudah berpendirian bahwa kasus bioremediasi Chevron tidak cukup bukti untuk dilanjutkan sebagai kasus korupsi. Mengingat bukti kerugian negara yang disampaikan, hanya berdasarkan audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP).

Menurut UU Keuangan Negara, kata Mudzakkir, sudah jelas disebutkan bahwa yang berwenang melakukan audit kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lewat audit investigative. Yakni dengan turun ke lapangan, memeriksa semua data dan fakta yang ada, termasuk meng-interview orang-orang yang terkait dengan persoalan yang diaudit.

“Itu semua tidak bisa dilakukan oleh BPKP, karena memang BPKP tidak punya kewenangan untuk itu. BPKP dalam menyebut adanya kerugian negara dalam kasus bioremediasi Chevron, hanya menghitung tumpukan angka-angka dalam berkas yang itu merupakan berkas cost recovery. Bukti seperti itu tidak cukup untuk menghilangkan hak warga negara dengan menetapkannya sebagai tersangka dalam suatu kasus pidana,” tandas Mudzakkir yang juga menjadi pembicara dalam diskusi tersebut.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)