Sidang kasus bioremediasi.

Sidang kasus bioremediasi.

JAKARTA – Corporate Communication Manager Chevron Indonesia, Dony Indrawan mengaku mengikuti dengan seksama persidangan kasus bioremediasi, dalam dua pekan belakangan ini. Ia menangkap kesan, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) yang diketuai Sudharmawati Ningsih, berupaya keras mencari pembenaran atas putusan yang telah dikeluarkan sebelumnya.   

Sebelumnya, pada 7 dan 8 Mei 2013, Majelis Hakim kasus bioremediasi telah menjatuhkan vonis atau putusan bersalah, kepada Ricksy Prematuri dan Herland bin Ompo. Keduanya adalah pimpinan perusahaan kontraktor PT Chevron Pacific Indonesia dalam proyek bioremediasi.

Sidang kasus bioremediasi yang berlangsung beberapa pekan belakangan ini, adalah untuk mengadili terdakwa Kukuh Kertasafari, Widodo, dan Endah Rumbiyanti, dengan agenda menghadirkan saksi dan ahli yang meringankan (a de charge). Ketiga terdakwa adalah karyawan Chevron.

Dalam beberapa sidang terakhir, ungkap Dony, tampak sekali majelis hakim sangat bersemangat untuk membuktikan tuduhan jaksa, dengan selalu mengulang-ngulang pertanyaan yang sudah dijawab jelas oleh saksi maupun ahli yang  dihadirkan.

Dony pun mengaku, pihaknya selama ini telah mencatat berbagai sikap dan perilaku hakim dalam persidangan, yang terkesan mencari-cari jawaban yang mendukung tuduhan jaksa penuntut umum (JPU) dan mencari pembenaran atas vonis yang dijatuhkan sebelumnya, yaitu terhadap Ricksy dan Herland.

Upaya majelis hakim mencari pembenaran ini, tutur Dony, lebih menonjol ketimbang mendengarkan secara teliti keterangan-keterangan saksi dan ahli yang dihadirkan.

“Sebenarnya situasi persidangan seperti itu, telah berlangsung sejak sidang perkara kasus ini pada Desember 2012 lalu. Namun kami berprasangka baik bahwa kali ini majelis hakim sedang berusaha memperoleh fakta-fakta persidangan, dengan memastikan jawaban dari saksi dan ahli konsisten dan jelas, sehingga hakim dapat membuat keputusan yang obyektif dan adil,” ungkap Rabu, 29 Mei 2013.

Dony mencatat, pada vonis yang lalu majelis hakim telah menyatakan bersalah Herlan dan Ricksy, keduanya rekanan Chevron yang membantu pengerjaan proyek bioremediasi, yang dianggap telah melanggar Peratuan Pemenerintah Nomor 18 Tahun 1999, karena tidak memiliki izin.

Padahal Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai regulator di bidang penegakan peraturan dan Undang-undang (UU) Lingkungan, telah menyatakan bahwa kedua kontraktor itu memang tidak perlu memiliki izin. Hanya Chevron yang diharuskan memiliki izin selaku pemilik limbah.

Seperti yang diungkapkan oleh ahli hukum dari Universitas Parahyangan (Unpar) Bandung, Asep Warlan Yusuf, yang menyatakan dengan tegas bahwa kewenangan menyatakan ada tidaknya pelanggaran terhadap UU Lingkungan Hidup sepenuhnya berada di tangan Menteri Lingkungan Hidup (LH).

“Penegak hukum harus berkoordinasi dengan Menteri LH bila ingin menyelidiki tindak pidana lingkungan hidup dan tidak ada tafsir lain terkait kewenangan ini,” tegasnya.

Dony pun menerangkan, sesuai Pasal 63 ayat 1 huruf aa UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengolahan Lingkungan Hidup, Menteri Lingkungan Hidup yang menentukan ada tidaknya pelanggaran hukum sehingga dalam hal terjadi tindak pidana, penegak hukum harus koordinasi menteri.

“Dengan fakta persidangan seperti ini dan berdasarkan asas penegakan hukum, kami menilai majelis hakim dalam membuat putusan tidak akan lagi luput untuk mempertimbangkan kesaksian KLH sebagai pihak yang berwenang satu-satunya bahwa proyek bioremediasi CPI telah sesuai dengan peraturan dan hukum yang berlaku di Indonesia,” ujar Dony.

Menurut Dony, ketika KLH sebagai regulator dan SKK Migas sebagai manajemen PSC yang mewakili pemerintah Indonesia menyatakan bahwa proyek bioremediasi ini sudah sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan, maka tidak ada lagi alasan bagi pengadilan tipikor untuk mencari pembenaran atas vonis yang sudah dijatuhkan sebelumnya, atau berusaha membuktikan tuntutan jaksa yang menuduh para karyawan dan kontraktor Chevron melakukan tindak pidana.

“Daripada mengulang kekeliruan, justru jauh lebih penting untuk menegakkan kembali sistem peradilan yang menjunjung asas kebenaran dan keadilan. Insya Allah semua pasti ada hikmahnya,” pungkasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)