Bachtiar Abdul Fatah saat menjalani sidang kasus bioremediasi di Pengadilan Tipikor.

Bachtiar Abdul Fatah saat menjalani sidang kasus bioremediasi di Pengadilan Tipikor.

JAKARTA – Berbagai kejanggalan semakin banyak terungkap dalam persidangan terkini kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia (CPI). Dalam tanya jawab dengan terdakwa Bachtiar Abdul Fatah pada persidangan Senin, 23 September 2013, anggota  Majelis Hakim yang menangani perkara itu juga tampak heran dengan penetapan Bachtiar sebagai terdakwa kasus bioremediasi.   

Dalam persidangan itu, Bachtiar mengaku saat menjabat GM SLS ikut membubuhkan tanda tangan pada kontrak bridging C905616, yang saat ini diperkarakan Kejaksaan Agung (Kejagung). Kontrak bioremediasi itu ditandatanganinya pada 24 Agustus 2011, enam hari sebelum ia efektif menjalankan tugas barunya sebagai Asisten Vice President Supply Chain Management di Jakarta, mulai 1 September 2013.

Ia ikut menandatangani kontrak itu karena adanya POA (Power of Authorized) atau kuasa dari Presiden Direktur PT CPI untuk menandatangani perjanjian dengan pihak luar sebagai perwakilan dari perusahaan, yang melekat dalam jabatannya sebagai GM SLS. Jika tidak tanda tangan, ia akan dianggap melanggar aturan, bisa berujung pada pemecatan.

Sehingga, meskipun tanggung jawab utamanya sebagai GM SLS adalah pada manajemen reservoir, terdakwa harus tetap ikut menandatangani kontrak bridging C905616 yang merupakan kontrak untuk proyek bioremediasi. Inisiatif kontrak juga bukan dari Bachtiar, tetapi dari bagian pengadaan dan tim yang langsung menangani bioremediasi. Bagaimana implementasi kontrak, terdakwa pun tak tahu, karena enam hari kemudian dipindahtugaskan ke Jakarta.  

Hakim Slamet Subagyo tampak penasaran dengan keterangan Bachtiar itu. Ia lantas mencecar terdakwa dengan pertanyaan yang lebih detail. “Saudara tandatangan kontrak tanggal 24 Agustus 2011 dan pindah tanggal 1 September 2011. Sebentar sekali. Berapa lama itu? Cuma enam hari?,” tanya hakim Slamet menghitung hari antara terdakwa tandatangan kontrak dan putusan CPI untuk kepindahan terdakwa ke Jakarta.

“Lalu saudara sempat ngapain saja itu enam hari?,” lanjut Slamet. Bachtiar pun menjawab “tidak ada”. “Ya terus, bagaimana itu (jadi terdakwa korupsi, red) kalau tidak sempat ngapa-ngapaian?,” tanya Hakim Slamet heran. “Ya, karena itu saya juga tidak mengerti, Yang Mulia…” jawab Bachtiar sambil tertunduk dan tak kuasa menahan tangisnya.

Menurut terdakwa, dirinya mengetahui statusnya sebagai tersangka pada bulan Maret 2012 dan pada tanggal 26 September 2012, keempat tersangka karyawan CPI dan 2 kontraktor CPI langsung ditahan.

Ketika terdakwa menjelaskan soal penahanan ini, di bagian deretan kursi JPU di persidangan, tampak Jaksa Rudi yang dikatakan terdakwa memintanya menandatangani surat penahanan menundukan kepalanya dan duduk dengan posisi mundur sehingga tertutup badan rekan-rekan Jaksa lainnya.

Seperti yang terungkap dalam persidangan, keempat karyawan CPI melakukan gugatan praperadilan yang kemudian dikabulkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Bachtiar dibebaskan dari tahanan dan statusnya sebagai tersangka telah dibatalkan, karena jaksa tidak dapat menunjukkan bukti-bukti termasuk selama persidangan.

“Putusan pra-peradilan menyebutkan penahanan dan status saya sebagai tersangka tidak sah,” ungkap Bachtiar. Ia juga mengaku, setelah adanya putusan tersebut tidak pernah lagi diminta untuk melakukan penyidikan ulang hingga kasusnya dinyatakan P21 (lengkap). Bachtiar mengaku sudah mengajukan keberatan kepada Kejagung atas P21 itu, namun yang terjadi malah ia kemudian dijemput paksa.

“Saya tidak pernah mendapatkan surat pembatalan putusan pra-peradilan sebelum dijemput paksa dan ditahan lagi oleh penyidik Kejagung. Saya juga tidak pernah mendapatkan penjelasan mengenai adanya putusan pra-peradilan dari Mahkamah Agung,” terang Bachtiar dengan suara bergetar menahan tangis.

Terdakwa mengaku bahwa dirinya dipaksa menandatangani surat penahanan, tidak diberikan penjelasan atas penahanan itu dan terdakwa mengaku tidak memiliki pilihan.

Terdakwa pun mengaku tidak pernah diperiksa oleh badan pemeriksa Mahkamah Agung mengenai putusan pra-peradilan dan terdakwa pun tidak pernah menerima tembusan surat resmi dari Mahkamah Agung yang membatalkan putusan pra-peradilan.

Padahal mantan Hakim Agung, Prof Laica Marzuki dan Guru Besar UGM, Prof Edward yang hadir sebagai ahli, dalam sidang sebelumnya menjelaskan bahwa putusan pra-peradilan bersifat final dan mengikat. Menurut kedua ahli hukum ini, tidak ada putusan administratif atau surat yang bisa membatalkannya sebuah putusan pengadilan.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)