Persidangan kasus bioremediasi PT CPI.

JAKARTA – Guru Besar Hukum Pidana di Universitas Gadjah Mada (UGM) Edward Omar Syarif Hiariej yang menjadi saksi ahli dalam persidangan perkara dugaan tindak pidana korupsi pada proyek bioremediasi di PT Chevron Pacific Indonesia (CPI) untuk terdakwa Ricksy Prematuri dan Herlan bin Ompo, menyatakan bahwa Majelis Hakim harus mengabaikan keterangan saksi ahli yang tidak obyektif.

Dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Senin, 15 April 2013, Edward menjelaskan bahwa ahli harus memenuhi empat syarat, yaitu kapasitas intelektual, obyektivitas, corak kesaksian, dan kekuatan kesaksian. “Jika ahli berpendapat di luar itu, maka keterangannya harus diabaikan atau tidak dipertimbangkan,” ujarnya.

Lebih terinci, Edward menyebutkan bahwa obyektivitas yang dimaksud adalah ahli hanya boleh berpendapat mengenai hal-hal umum dan tidak boleh terkait dengan perkara yang sedang disidangkan. “Ada asas nemo judex idoneus improperia causa yang maksudnya, kalau ahli mempunyai kepentingan, maka tidak boleh ikut serta dalam perkara,” katanya dalam persidangan.

Dalam perkara tersebut, jaksa penuntut umum telah menghadirkan saksi ahli Edison Effendi yang pernah kalah dalam tender proyek bioremediasi di PT CPI. Kesaksian Edison ditentang oleh kedua tim penasihat hukum para terdakwa karena dinilai tidak obyektif.

Selain dijadikan saksi ahli, Edison juga dimintai keterangan oleh Kejaksaan Agung pada tahap penyelidikan dan penyidikan untuk menyusun perkara tersebut. Keterangan ini kemudian dijadikan satu-satunya dasar oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta Kejaksaan Agung dalam menghitung kerugian negara.

Menurut Edward, penghitungan kerugian negara dapat dijadikan alat bukti apabila dilakukan sesuai dengan undang-undang. Ia menyebutkan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 menentukan bahwa yang berhak menghitung kerugian negara adalah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Saat ditanya oleh tim penasihat hukum apakah BPKP berwenang untuk menghitung kerugian negara, Edward menjawab, “Ketentuan tersebut bersifat limitatif.”

Edward juga mengatakan bahwa barang bukti dan alat bukti harus diperoleh secara sah, telah dilakukan pemeriksaan, dan tidak bertentangan dengan undang-undang. “Pengumpulan barang bukti dan alat bukti harus sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Kalau tidak, maka tidak sah. Konsekuensinya adalah barang bukti atau alat bukti tersebut tidak bisa dipertimbangkan oleh Majelis Hakim,” katanya.

Seputar keterangan dalam sidang terkait saksi ahli Edison Effendi, saat dimintai tanggapannya, Corporate Communication Manager Chevron, Dony Indrawan menjelaskan bahwa sejak semula CPI prihatin terhadap potensi konflik kepentingan yang dimiliki oleh ahli bioremediasi yang ditunjuk Kejaksaan Agung (Kejagung) yaitu Edison Effendi.

“Beliau pernah gagal dalam menjalankan program bioremediasi di perusahaan kami. Selain itu Saudara Edison Effendi pernah mewakili PT Putra Riau Kemari yang gagal dalam tender proyek bioremediasi tidak lama sebelum Kejagung mengumumkan melakukan penyelidikan atas proyek bioremediasi ini. Dalam tender ini, 14 perusahaan berkompetisi untuk memenangkan tender ini dimana PT Putra Riau Kemari tidak dapat memenuhi persyaratan tender tersebut,” lanjut Dony.

Menurut Dony, jauh sebelumnya Edison Effendi pernah juga mewakili PT Adimitra, untuk berpartisipasi dalam proyek pilot bioremediasi di CPI pada tahun 2004. Namun demikian proyek yang dilakukan PT Adimitra ini tidak dilanjutkan karena biaya yang tinggi dan jangka waktu siklus bioremediasi yang panjang.

(Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)