Gedung Kantor Komisi Yudisial di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat.

Gedung Kantor Komisi Yudisial di Jl Kramat Raya, Jakarta Pusat.

JAKARTA – Diduga telah melakukan penetapan penahanan secara sewenang-wenang dan melanggar kode etik terhadap terdakwa kasus bioremediasi, Bachtiar Abdul Fatah, Ketua Majelis Hakim pada Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, Antonius Widijantono, SH hari ini, Jumat, 19 Juli 2013, dilaporkan ke Komisi Yudisial (KY).

Menurut keterangan staf KY, laporan tertulis dari Bachtiar dan penasehat hukumnya, sudah diterima kemarin, Kamis, 18 Juli 2013, oleh sekretariat KY. Sementara para pelapor hari ini langsung diterima oleh Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki.

Dr Maqdir Ismail, SH, LLM selaku Penasehat Hukum Bachtiar Abdul Fatah dalam laporannya ke Komisi Yudisial menuturkan, Antonius Widijantono selaku Ketua Majelis Hakim dalam perkara bioremediasi yang sedang dihadapi kliennya, telah menetapkan penahanan terhadap Bachtiar pada 28 Mei 2013 secara retroaktif (berlaku surut/mundur) untuk penahanan yang dimulai pada 22 Mei 2013.

Hakim Antonius, kata Maqdir, juga telah melakukan penetapan perpanjangan terhadap Bachtiar pada 11 Juni 2013 yang diberlakukan futuristik (berlaku ke depan) terhitung sejak 21 Juni 2013 (satu hari setelah tanggal masa penahanan berakhir).

Penetapan penahanan yang dilakukan hakim Antonius ini, jelas Maqdir, telah melanggar kewajiban untuk mengetahui dan mendalami serta melaksanakan tugas pokok, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku khususnya hukum acara, dalam hal kasus bioremediasi ini ialah hukum acara pidana.

“Dalam Butir 8.1 Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009 diatur, hakim wajib untuk dapat menerapkan hukum acara secara benar dan dapat memenuhi rasa keadilan,” terang Maqdir.

Hakim, lanjut Maqdir, juga wajib untuk bersikap profesional sebagaimana diatur secara tegas dalam Butir 10.4. Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009.

“Kami menilai, cara penetahapan penahanan dan perpanjangan penahanan yang dilakukan Hakim Antonius Widijanto terhadap klien kami Bachtiar Abdul Fatah, tidak mencerminkan sikap profesional tersebut,” ungkapnya.

Penetapan penahanan dan perpanjangan penahanan Bachtiar oleh hakim Antonius, ucap Maqdir, juga tidak menunjukkan perilaku disiplin dan taat pada norma-norma, atau kaidah-kaidah yang diyakini sebagai panggilan luhur untuk mengemban amanah dan kepercayaan pencari keadilan, sebagaimana diatur dalam Pasal 12 ayat (1) Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 – Nomor 02/SKB/P.KY/IV/2009.

Hak Asasi Bachtiar Dilanggar

Maqdir menegaskan, penetapan penahanan secara retroaktif merupakan pelanggaran atau bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 4 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) yang secara jelas menegaskan semangat dan jiwa penolakan terhadap pemberlakuan surut atas penerapan suatu proses hukum.

“Penetapan penahanan tanggal 28 Mei 2013 yang memberlakukan penahanan secara retroaktif, sebenarnya telah menyebabkan penahanan yang sewenang-wenang dan tanpa dasar terhadap Klien kami, Bachtiar Abdul Fatah,” tandas Maqdir.

Pengacara senior ini lantas menjelaskan bahwa menurut hukum sejak dilimpahkannya perkara Bachtiar dari pihak Jaksa Penuntut Umum (in casu Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan) kepada Pengadilan, maka kewenangan penahanannya juga beralih kepada pihak Pengadilan dan kewenangan penahanan oleh Kejaksaan menjadi berakhir.

Ia pun menjelaskan, perkara Bachtiar sendiri telah dilimpahkan ke Pengadilan pada 22 Mei 2013. Sehingga seharusnya menurut hukum, kewenangan penahanan sejak tanggal tersebut telah beralih kepada Pengadilan, dan kewenangan penahanan oleh Kejaksaan menjadi berakhir.

“Namun fakta yang terjadi, Pengadilan baru mengeluarkan penetapan pada 28 Mei 2013 yang diberlakukan Surut sejak 22 Mei 2013,” tandas Maqdir.

“Artinya, sejak 22 Mei 2013 sampai dengan 28 Mei 2013 sebenarnya klien kami (Bachtiar) telah ditahan tanpa dasar dan sewenang-wenang, karena pada periode tersebut kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penahanan telah berakhir, sedangkan Pengadilan yang telah menerima pelimpahan perkara ternyata belum mengeluarkan Penetapan Penahanan,” urai Maqdir.

Menolak Alasan Salah Ketik

Maqdir menemukan, Hakim Antonius sebenarnya sudah sempat menyadari kekeliruan dan kesalahan serta pelanggaran hukum yang sangat fatal tersebut. Terbukti Hakim Antonius Widijantono seolah mencoba dan berusaha mengoreksi atau memperbaikinya, melalui pertimbangannya dalam Putusan Sela terhadap Bachtiar, Nomor: 34/Pid.Sus/TPK/2013/PN.JKT.PST.

Koreksi itu, ulas Maqdir, tertuang pada halaman 25 Putusan Sela. “Penetapan Penahanan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 34/PID.SUS/TPK/2013/PN.Jkt Pst tertulis dalam Penetapan Penahanan tersebut, Ditetapkan di Jakarta Pada Tanggal 28 Mei 2013 seharusnya Ditetapkan di Jakarta Pada Tanggal 22 Mei 2013, dengan demikian kekeliruan atas pengetikan Tahun penahanan dalam Surat Dakwaan maupun Tanggal Penetapan dalam Penetapan Penahanan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi  pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor : 34/PID.SUS/TPK/2013/PN.Jkt Pst telah diperbaiki,” tulis Hakim Antonius berusaha mengoreksi.

Namun, ujar Maqdir, ia dan kliennya tidak yakin Hakim Antonius salah ketik, dalam penetapan penahanan dan perpanjangan penahanan itu. Karena terbukti, pada penetapan perpanjangan penahanan pada 11 Juni 2013 yang berlaku futuristik mulai 21 Juni 2013, Hakim Antonius tetap menggunakan rujukan penetapan penahanan tanggal 28 Mei 2013.

“Bagi kami ini adalah kesalahan fatal, dimana klien kami, seorang warga negara Indonesia bernama Bachtiar Abdul Fatah, telah ditahan dalam rentang 22 – 28 Mei 2013 atau selama tujuh hari, tanpa adanya alas hukum yakni penetapan dari jaksa penyidik maupun hakim. Seharusnya, selama tujuh hari itu Bachtiar bebas merdeka, namun ia dipenjara, diperkosa haknya, tanpa dasar hukum,” tukas Maqdir.

Jangan Ada Lagi Korban

Maka dari itu, dengan membawa persoalan Hakim Antonius ini ke Komisi Yudisial, Maqdir berharap ada keadilan yang diberikan kepada Bachtiar Abdul Fatah, dan Komisi bisa menelaah kesalahan ini secara lebih serius. Selain itu, dengan diungkapkannya kasus ini ke Komisi Yudisial dan ke publik, diharapkan ke depan tidak ada lagi tindakan penahanan sewenang-wenang, dan perampasan hak warga negara secara melanggar hukum, yang dilakukan justru oleh penegak hukum di negeri ini.

Menanggapi laporan ini, Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki berjanji untuk segera menindaklanjutinya. Menurut Suparman, laporan ini sebagai wujud perhatian masyarakat agar terjadi wibawa hukum dan wibawa pengadilan, yang saat ini dipersepsi oleh masyarakat belum seperti yang diharapkan.

“Kami menilai laporan ini sebagai wujud perhatian masyarakat demi terwujudnya wibawa hukum dan pengadilan. Pelanggaran sekecil apapun akan ditindaklanjuti segera. Tidak hanya sekedar untuk memberi sanksi kepada hakim tapi lebih berfokus kepada membangun kewibawaan hukum dan pengadilan di negara kita ini,” ungkap Suparman.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)