JAKARTA– India Metals & Ferro Alloys (IMFA) Ltd, perusahaan tambang batubara asal India, menggugat Pemerintah Indonesia di pengadilan arbitrase internasional di Permanent Court of Arbitration Singapura senilai US$ 581 juta atau setara Rp 7,8 triliun. Keputusan final hasil arbitrase ditetapkan maksimal dua tahun setelah sidang pertama digelar Desember 2015.

Gugatan IMFA sudah masuk arbitrase internasional pada 23 September 2015 karena terjadi tumpang tindih lahan Izin Usaha Pertambangan (IUP) perusahaan di Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah.

Wakil Presiden M Jusuf Kalla pada Rabu (29/3) memanggil sejumlah menetri untuk membahas gugatan perusahaan India itu terkait langkah antisipasi yang disiapkan pemerintah. Menteri yang dipanggil Wapres Jusuf Kallah adalah Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, Thomas Lembong, Jaksa Agung M Prasetyo, Menteri Hukum dan HAM Yasona Laoly, dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.

Thomas Lembong, Kepala BKPM, kepada wartawan di Istana Wakil Presiden, mengatakan sengketa termasuk arbitrase termasuk yang lazim terjadi di mana-mana, namun dia mengelak berkomentar lebih jauh soal gugatan IMFA Ltd.

Kasus ini berawal dari pembelian PT Sri Sumber Rahayu Indah (SSRI) oleh IMFA pada 2010. SSRI memiliki IUP untuk batu bara di Barito Timur, Kalteng.

Investor asing asal India ini merasa rugi karena telah mengucurkan dana US$ 8,7 juta untuk membeli SSRI, akibat tak bisa melakukan penambangan karena ternyata IUP di lahan seluas 3.600 hektar yang dimiliki SSRI tidak clean and clear (CnC). IUP mereka tumpang tindih dengan IUP milik tujuh perusahaan lain yang juga mengantongi izin dari Pemerintah Kabupaten Barito Selatan dan Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan.

IMFA kemudian menuntut ganti rugi dari pemerintah Indonesia senilai US$ 581 juta. Menurut kalkulasi mereka, potensi pendapatan yang hilang (potential loss) akibat tidak bisa menambang batu bara ditambah investasi yang sudah mereka keluarkan mencapai Rp 7,8 triliun.

Heriyanto, saat itu Kabag Hukum Ditjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, mengtakan permasalah tumpang tindih izin konsesi lahan ini sejatinya bukan kesalahan pemerintah pusat. Terlebih, IMFA tidak melakukan legal audit sebelum menguasai IUP milik PT Sri Sumber Rahayu Indah. “Izin bupati Barito Timur 2006. Ini preseden buruk bagi perusahan non-CNC dibeli perusahaan asing,” tutur Heriyanto.

Menurut dia, pengajuan tuntutan tersebut bukan kesalahan pemerintah pusat, tetapi pemerintah daerah yang memberikan izin dengan sembarang ke perusahaan tambang. “Harusnya bisa dibantah pemerintah, tapi yang salah pemerintah daerah bukan pemerintah pusat. Akan tetapi pihak luar negeri tahunya pemerintah Indonesia,” kata Heriyanto, ketika itu.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan batubara dalam Pasal 36, IUP dibagi dua, yaitu IUP Eksplorasi dan IUP Operasi Produksi. IUP Eksplorasi adalah izin usaha yang diberikan untuk melakukan tahapan kegiatan penyelidikan umum, eksplorasi, dan studi kelayakan. Sementara itu, IUP Operasi Produksi adalah izin usaha yang diberikan setelah selesai pelaksanaan IUP Eksplorasi untuk melakukan tahapan kegiatan operasi produksi, yang meliputi kegiatan konstruksi, penambangan, pengolahan dan pemurnian, serta pengangkatan dan penjualan.

Pemberian IUP yang berada di wilayah kabupaten/kota berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dalam Pasal 8 ayat (1) huruf b dan Pasal 37 huruf a menjadi kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Namun demikian, berdasarkan Pasal 6 ayat (1) huruf j, pemerintah berwenang untuk pengevaluasian IUP Operasi Produksi, yang dikeluarkan oleh Seksi Informasi Hukum – Ditama Binbangkum pemerintah daerah, yang telah menimbulkan kerusakan lingkungan serta yang tidak menerapkan kaidah pertambangan yang baik.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 dalam Pasal 39, IUP Eksplorasi wajib memuat ketentuan sekurang-kurangnya:
a. nama perusahaan;
b. lokasi dan luas wilayah;
c. rencana umum tata ruang;
d. jaminan kesungguhan;
e. modal investasi;
f. perpanjangan waktu tahap kegiatan;
g. hak dan kewajiban pemegang IUP;
h. jangka waktu berlakunya tahap kegiatan;
i. jenis usaha yang diberikan;
j. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
k. perpajakan;
l. penyelesaian perselisihan;
m. iuran tetap dan iuran eksplorasi; dan
n. amdal.

IUP Operasi Produksi memuat ketentuan sekurang-kurangnya:
a. nama perusahaan;
b. luas wilayah;
c. lokasi penambangan;
d. lokasi pengolahan dan pemurnian;
e. pengangkutan dan penjualan;
f. modal investasi;
g. jangka waktu berlakunya IUP;
h. jangka waktu tahap kegiatan;
i. penyelesaian masalah pertanahan;
j. lingkungan hidup termasuk reklamasi dan pascatambang;
k. dana jaminan reklamasi dan pascatambang;
l. perpanjangan IUP;
m. hak dan kewajiban pemegang IUP;
n. rencana pengembangan dan pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah pertambangan;
o. perpajakan;
p. penerimaan negara bukan pajak yang terdiri atas iuran tetap dan iuran produksi. (DR)