JAKARTA – Investasi dalam kegiatan eksplorasi dalam industri minyak dan gas (migas) berpotensi terus anjlok dalam beberapa waktu kedepan. Upaya pemerintah untuk membuat iklim investasi lebih atraktif, khususnya di sektor migas dinilai belum berpengaruh signifikan.

Kebijakan baru berupa perubahan skema kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) dari berbasis cost recovery menjadi gross split juga bukan merupakan jalan keluar yang diharapkan pelaku usaha.

Berdasarkan hasil analisis Wood Mackenzie, gross split tidak lebih baik dari skema PSC konvensional. Ini ditunjukkan dengan keatraktifan Indonesia dalam industri migas dunia tidak mengalami peningkatan berarti. Bahkan risiko bagi pelaku usaha justru bertambah, terutama jika ingin berinvestasi di wiliayah laut dalam dan daerah remote. Padahal pemerintah tidak jarang mendorong investor untuk melakukan investasi di laut dalam yang diyakini masih menyimpan banyak cadangan migas.

Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, mengungkapkan tidak tertutup kemungkinan laporan analisis Wood Mackenzie terjadi secara nyata dengan makin sedikitnya investasi eksplorasi di Indonesia. Terlebih dengan kondisi industri migas saat ini yang masih belum kondusif, adanya kebijakan baru justru akan menambah risiko bagi pelaku usaha.

Untuk itu, jika pemerintah berniat memberlakukan skema kontrak baru ada baiknya bukan sebagai mandatory atau yang wajib dilakukan, melainkan hanya sebagai opsi.

“Penurunan investasi kemungkinan besar akan terjadi, terutama untuk eksplorasi karena itu gross split ada baiknya sebagai opsi saja,” kata Komaidi, Jumat (10/3).

Jika sebagai opsi maka pemerintah bisa dengan tenang melakukan evaluasi terhadap skema baru yang ditawarkan, dan tidak perlu takut melanggar regulasi karena pelaku usaha tidak diwajibkan. Sebaliknya jika kelak pelaku usaha diwajibkan dan ditengah jalan terjadi masalah, sehingga dibutuhkan evaluasi maka waktu yang diperlukan untuk merubah suatu regulasi di Indonesia tentu memerlukan waktu yang tidak sedikit.

“Perlu dilihat dulu sambil evaluasi, karena untuk kontrak baru risiko masih besar,” kata Komaidi.

Hingga saat ini belum ada kontrak baru yang menggunakan skema gross split, kecuali PT Pertamina Hulu Energi (PHE) Offshore North West Java. Itupun karena PHE ONWJ, sebagai bagian dari PT Pertamina (Persero) ditugaskan pemerintah.

Selain itu, terdapat delapan blok lainnya yang pada 2018 juga akan diserahkan ke Pertamina dan ditugaskan untuk dikelola menggunakan skema gross split.

Dalam skema gross split, negara memang diuntungkan dengan tidak lagi menanggung beban biaya produksi melalui mekanisme cost recovery. Berbeda dengan gross split, biaya akan ditanggung seluruhnya oleh kontraktor. Namun dalam perhitungan awal bagi hasil, kontraktor akan mendapatkan jatah lebih besar dari negara.

Menurut laporan Wood Mackenzie jika ingin mendapatkan dampak positif dari penerapan gross split, pemerintah harus rela untuk memberikan insentif ekstra dalam split maupun regulasi utamanya terkait perpajakan.(RI)