JAKARTA – Rencana perubahan skema kontrak kerja sama blok minyak dan gas (migas) oleh pemerintah dinilai akan efektif memotong proses administrasi yang kerap berlangsung lama, sehingga bisa mendorong efisiensi dari persiapan dalam pengelolaan ladang minyak di Indonesia.

“Dalam tatanan administrasi kita tidak meninggalkan beban ke generasi mendatang,” kata Ahmad Bambang, Wakil Direktur Utama Pertamina dalam Pertamina Energy Forum di Jakarta, Selasa (13/12).

Dengan skema production sharing contract (PSC) cost recovery yang selama ini dianut industri migas Indonesia, beban bisa terus membengkak dan dibebankan pada periode mendatang. Hal itu cukup berbaahaya dengan perkiraan pendapatan yang terus menurun otomatis beban tersebut bisa memberikan tekanan yang berat pada keuangan negara di masa depan.

“Cost recovery jadi ninggalin ke generasi yang akan datang. Sementara dari penerimaan makin turun, bisa jadi penerimaan untuk membayar cost recovery saja tidak cukup,” kata Ahmad.

Skema kontrak gross split sampai saat ini masih terus diintensifkan pembahasannya oleh pemerintah. Rencananya aturan skema baru ini akan tertuang dalam bentuk Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas (SKK Migas) sebelumnya juga menyatakan akan melakukan kajian langsung skema gross split di pengelolaan Blok ONWJ yang dalam kontrak barunya diserahkan ke Pertamina.

Dengan mekanisme gross split potensi kerugian pemerintah dari perhitungan cost recovery diharapkan bisa ditekan karena perhitungan bagi hasil antara kontraktor dan pemerintah dilakukan saat awal pembahasan kontrak. Berbeda dengan skema PSC, negara akan mengganti biaya operasi yang dikeluarkan oleh kontraktor. Namun, penggantian hanya dilakukan setelah cadangan migas yang ekonomis ditemukan.

Satya W Yudha Anggota Komisi VII DPR, menyatakan dalam skema gross split yang direncanakan pemerintah diminta memperhatikan revenue yang akan didapatkan negara.

Gross split memang bisa memberikan keuntungan dalam mempersiapkan anggaran suatu proyek migas dan berpotensi besar mengurangi potensi kerugian negara dari proses cost recovery, namun resiko yang besar tetap harus diperhatikan.

“Kementerian Keuangan pasti senang. Tidak ada cerita pembengkakan cost recovery, semua diestimasikan di depan, kalau meleset ya risiko. Tapi negara harus bisa dapatkan di atas 50%,” tandas Satya.(RI)