JAKARTA – Investasi Jepang di sektor pembangkit listrik tenaga batu bara di Indonesia meningkatkan risiko keuangan dan politik untuk bank dan investor, dan tidak sejalan dengan upaya global untuk mengatasi dampak buruk perubahan iklim.

Laporan Greenpeace Jepang bertajuk ‘Uncertain and harmful: Japanese coal investment in Indonesia’ secara gamblang menunjukkan aliran uang ke industri belum berhenti, meskipun kebijakan batu bara baru-baru ini diterbitkan bank-bank Jepang yang membatasi pembiayaan untuk industri batu bara.

Laporan Greenpeace menyebutkan saat ini delapan unit pembangkit batu bara baru dengan pendanaan Jepang sedang dibangun di Indonesia dan empat unit lainnya sedang dalam tahap perencanaan. Beberapa institusi keuangan utama Jepang, termasuk bank-bank terbesar di negara itu antara lain- Bank MUFG, Mizuho Bank dan Sumitomo Mitsui Banking Corporation – terlibat dalam pendanaan proyek-proyek tersebut.

Tata Mustasya, koordinator kampanye iklim dan energi Greenpeace Asia Tenggara, mengatakan Jepang terkenal sebagai negara dengan ilmu pengetahuan dan sumber daya teknologi yang tinggi. Investasi diterima di Indonesia, tetapi jika ingin berinvestasi di sektor energi akan  lebih baik dengan membantu Indonesia  membangun sistem manajemen energi yang canggih, yang sejalan dengan tren iklim dan energi global.

“Indonesia membutuhkan investasi di bidang manajemen kebutuhan energi, efisiensi energi dan energi terbarukan, bukan batu bara,” ujar Mustasya dalam keterangan tertulisnya, Kamis (6/12).

Pendanaan proyek batu bara Jepang bertujuan untuk memudahkan masyarakat Indonesia mendapatkan akses listrik, namun laporan tersebut justru menemukan bahwa delapan dari 12 proyek batu bara baru yang didanai  Jepang berada di jaringan Jawa-Bali, di mana akses ke listrik berada pada titik tertinggi, sekitar 99%. Daerah dengan tingkat elektrifikasi rendah tidak memiliki proyek yang sedang berjalan.

Perhatian berlebih pada jaringan Jawa-Bali telah menciptakan masalah kelebihan kapasitas. Pada November 2017, PT PLN (Persero) mengatakan 40% listrik tidak digunakan. Karena kelebihan kapasitas dan depresiasi mata uang Indonesia, PLN berada dalam kesulitan keuangan yang serius, yang menyebabkan pemerintah Indonesia menunda beberapa proyek PLTU batu bara.

Menurut Elrika Hamdi, Energy Finance Analyst of The Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), para penyandang dana Jepang untuk proyek batu bara perlu menyadari bahwa mereka menghadapi risiko keuangan yang tinggi dari situasi kelebihan kapasitas, keterlambatan penambahan kapasitas dan meningkatnya tuntutan untuk pengendalian pencemaran udara di Indonesia. Pada saat yang sama, biaya energi panel surya dengan cepat menurun secara global, dan itu akan segera lebih rendah daripada biaya pembangkit listrik batubara di negara ini.

Sudah saatnya bagi mereka untuk mengalihkan keterlibatan mereka menuju energi yang lebih bersih dan terbarukan agar sejalan dengan bagian dunia lainnya,” kata Elrika.

Beberapa delegasi dari Jepang hadir di konferensi COP24 Perubahan Iklim PBB yang sedang berlangsung di Polandia, yang salah satu topik diskusinya adalah tentang terbitnya laporan Perubahan Iklim Antarpemerintah (IPCC).

Hanna Hakko, Juru Kampanye Energi, Greenpeace Jepang, mengatakan esensi dari laporan IPCC ini sangat jelas. Untuk tetap berada dalam rentang pemanasan global maksimum 1,5 derajat Celcius, seluruh negara di seluruh dunia secara global harus memotong setidaknya dua pertiga penggunaan batu bara pada 2030 dan mengakhirinya hampir seluruhnya pada  2050.

Jepang dan Indonesia telah berkomitmen terhadap Kesepakatan Paris, tetapi proyek batu bara yang sedang berlangsung di kedua negara tidak memperlihatkan adanya urgensi untuk memangkas emisi. “Jika Jepang dan Indonesia ingin menghormati komitmen mereka terhadap Perjanjian Paris, kedua negara perlu melakukan pendekatan yang lebih berkelanjutan di sektor energi dengan cepat, ” tandas Hakko.(AT)