JAKARTA – Pemerintah terus berupaya mengoptimalkan pengembangan infrastruktur sektor panas bumi, salah satunya dengan mengalokasikan anggaran (geothermal fund) senilai Rp 3,7 triliun.
Penyediaan anggaran tersebut seiring upaya pemerintah untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP).
“Untuk program Geothermal fund, saat ini posisinya baru melakukan kegiatan 3G (geologi, geofisika, geokimia), kemudian ESIA (Environmental Social Impact), terhadap lima lokasi yang sudah diusulkan oleh Menteri ESDM kepada Menteri Keuangan,” ungkap Yunus Saefulhak, Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), kepada Dunia Energi di Jakarta, belum lama ini.
Geothermal fund di antaranya berasal dari hibah Bank Dunia sebesar US$ 55,25 juta atau sekitar Rp700 miliar, dan sisanya dari APBN.
Lima lokasi wilayah kerja panas bumi (WKP) yang diusulkan untuk mendapatkan geothermal fund, antara lain WKP Waisano di Nusa Tenggara Timur (NTT), WKP Oka Ile Ange di Flores Timur, WKP Jailolo di Maluku Utara, dan dua lainnya di Sumatera Barat.
Menurut Yunus, satu WKP akan mendapat alokasi dana US$ 10 juta. “Sekarang, posisinya membentuk komite bersama yang terdiri dari Kementerian ESDM, Kemenkeu, dan PT SMI. Kemenkeu ada BKF, lalu KESDM ada Badan Geologi dan Ditjen EBTKE,” kata Yunus.
Menurut Yunus, kegiatan 3G nantinya akan dilakukan oleh konsultan yang ditunjuk melalui proses lelang oleh PT SMI. Konsultan terpilih akan dibawah supervisi SMI dan World Bank.
Setelah melakukan kegiatan 3G dan sampai pada tahap penemuan tapak bor untuk kemudian ditetapkan oleh komite, maka langkah selanjutnya adalah melakukan lelang drilling company. Komite akan melakukan supervisi terhadap kegiatan pemboran yang dilakukan oleh drilling company, hingga tahap penemuan reservenya.
Setelah WKP dilakukan pemboran, lalu dikemas menjadi wilayah kerja yang siap dilelang. Nantinya, pemenang tender harus membayar kompensasi data dan biaya hasil pemboran tadi kepada pemerintah melalui PT SMI. Kemudian dana yang dibayarkan tadi akan digunakan untuk melakukan pemboran di wilayah lain.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 62/PMK.08/2017, dana penyediaan infrastruktur sektor panas bumi dapat digunakan untuk kegiatan pemberian pinjaman, penyertaan modal dan/atau penyediaan data dan informasi panas bumi. Untuk kegiatan pemberian pinjaman dan penyertaan modal, PT SMI akan melaksanakan berdasarkan skema bisnis korporasi. Sementara, untuk kegiatan penyediaan data dan informasi panas bumi, PT SMI akan melaksanakan berdasarkan penugasan khusus oleh Menteri Keuangan.
Penugasan penyediaan data dan informasi panas bumi kepada PT SMI dilaksanakan sebagai bentuk peran pemerintah untuk meminimalkan risiko eksplorasi terhadap biaya yang tinggi pada tahap eksplorasi. Karakteristik pengembangan panas bumi yang memiliki risiko tinggi telah menyebabkan kecenderungan perbankan umum enggan membiayai kegiatan tersebut.
Adanya peran pemerintah dalam tahap eksplorasi diharapkan dapat menurunkan risiko bagi kontraktor, sehingga dapat menarik partisipasi yang lebih tinggi dari pengembang dan perbankan dalam pembiayaan dan pengembangan panas bumi menjadi PLTP.
Dukungan ini diharapkan dapat mendorong pengembangan sektor panas bumi sebagai salah satu program prioritas pemerintah dalam rangka penyediaan listrik yang ramah lingkungan dan mencapai target bauran energi baru terbarukan sebesar 23% pada 2025 mendatang.
“Jadi, revolving fund, bergulir. Ini insentif dari pemerintah untuk memitigasi risiko eksplorasi bagi calon pengembang. Risiko eksplorasi diambil alih, lalu ketika eksplorasi akan ketemu proven reserve. Ini akan menarik bagi investor. Ketika investor tertarik, maka ini akan menurunkan sisi harga. Ri

siko kecil maka investor akan minta IRR (internal rate of return) kecil,” kata Yunus.(RA)