Garibaldi Thohir usai menerima Trophy Penghargaan PROPER Emas untuk Adaro.

Ramah dan bersahaja, demikian kebanyakan orang mengenal sosok Garibaldi Thohir. Pergaulannya luas, mulai pejabat pemerintahan, pemuka agama, sesama pengusaha, hingga tukang bakso. Namun dibalik itu, “Boy” –demikian ia biasa disapa– adalah pribadi yang tidak mudah puas. Boy Thohir ingin membawa Adaro menjadi perusahaan kelas dunia, dan masuk dalam jajaran “Fortune 500”.

“Untuk mencapai itu, revenue Adaro harus tumbuh dua dampai tiga kali lipat dari sekarang,” ujarnya. Berikut penuturan lengkap Garibaldi “Boy” Thohir (GT) kepada Dunia Energi (DE) dalam beberapa kesempatan, salah satunya seusai Adaro meraih penghargaan PROPER Emas pada Senin, 3 Desember 2012 di Jakarta.

DE: Apa saja yang dilakukan Adaro sehingga berhasil meraih penghargaan tertinggi bidang lingkungan ini?

GT: Sejak awal beroperasi, kami selalu berupaya bekerja dengan penuh tanggung jawab serta berkomitmen tinggi terhadap lingkungan dan masyarakat. Kaidah penambangan yang baik atau Good Mining Practices pun kami terapkan, guna meminimalisir dampak yang timbul terhadap lingkungan. Pencapaian ini bukan karena usaha Adaro semata. Namun berkat dukungan dari berbagai pemangku kepentingan diantaranya masyarakat, mitra kerja serta pemerintah.

DE: Apa saja program konkrit bidang lingkungan yang telah dilakukan Adaro selama ini?

GT: Seperti yang dilakukan dalam kegiatan reklamasi di lahan bekas tambang Paringin, salah satu blok tambang Adaro. Pemanfaatan hutan tambang Paringin tidak hanya untuk fungsi ekologis, namun juga ekonomis. Di tempat ini, Adaro mengembangkan model hutan reklamasi di lahan bekas tambang. Bekerjasama dengan LIPI Limnologi, kami melaksanakan program budidaya udang galah dan ikan nila di air bekas tambang Paringin, juga pembibitan ikan nila untuk nanti dikembangkan ke masyarakat. Air bekas tambang terbukti dapat digunakan untuk mendukung kegiatan perikanan.

Berbagai upaya efisiensi energi pun telah kami lakukan, diantaranya melalui penggunaan solar cell untuk peralatan penunjang kegiatan penambangan, penggunaan oli bekas sebagai campuran bahan peledak serta upaya pengurangan emisi udara dan penggunaan bahan bakar solar melalui program pilot project biodiesel fuel. Melalui konsep 3R, kami melakukan konservasi sumber daya air, mengolah sumber daya air yang ada di wilayah tambang dan stockpile menjadi air bersih yang sesuai dengan standar baku mutu air bersih melalui unit WTP (Water Treatment Plant).

Kini air bersih tidak hanya dimanfaatkan oleh internal Adaro, namun juga telah membantu ketersediaan air bersih bagi 1,137 Kepala Keluarga di wilayah operasional tambang Adaro. Sementara itu, komitmen untuk mengembangkan masyarakat dan meningkatkan kemandirian masyarakat diwujudkan melalui program-program Corporate Social Responsibility (CSR) yang berkelanjutan.

DE: Apakah dalam pelaksanaan program-program tersebut Adaro juga melibatkan masyarakat dan pemerintah daerah setempat?

GT: Ya, program-program ini diselaraskan dengan kebijakan pemerintah dan potensi daerah agar mampu memberikan manfaat nyata, menggerakkan ekonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dalam setiap program CSR kami selalu melibatkan 3 komponen yakni Profit, People dan Planet.

Mengacu konsep itu, Adaro melaksanakan program pengembangan ekonomi,  pendidikan, kesehatan, sosial budaya, dan lingkungan yang didukung partisipasi aktif dari masyarakat dan kemitraan yang kuat dengan berbagai pemangku kepentingan lainnya. Melalui pembangunan yang berkelanjutan dan sinergi dengan berbagai pihak ini, diharapkan akan terwujud kemandirian masyarakat di bidang ekonomi, intelektual dan manajemen.

DE: Sejauh mana manfaat program-program itu bagi masyarakat di lingkar tambang Adaro?  

GT: Kita bisa melihat perkembangan di daerah operasi Adaro di Tanjung, Tabalong, Balangan, di Kalimantan Selatan, juga di sepanjang hauling road Barito Timur dan Barito Selatan, cukup bagus dan menggembirakan. Kepada seluruh bangsa dan rakyat Indonesia, Adaro juga memberikan manfaat lewat pembayaran pajak dan royalti ke Pemerintah Pusat.

Tapi sekali lagi, kerja kita belum cukup. Karena masih banyak sekali saudara-saudara kita yang perlu dibantu oleh Adaro, agar berkembang. Masih banyak sekali yang dibutuhkan pemerintah untuk melanjutkan pembangunan.

DE: Dengan manfaat yang diperoleh masyarakat sekitar daerah operasi Adaro, apakah bisa dikatakan added value (nilai tambah) untuk batubara sebenarnya sudah dilaksanakan?

GT: Ini yang sebenarnya perlu kita beritahukan ke dunia diluar tambang. Jangan selalu mengatakan pertambangan batubara hanya merusak lingkungan, tidak ada kontribusinya, atau lebih banyak mudharat-nya (mendatangkan keburukan, red) ketimbang manfaatnya. Kita harus fair melihat bahwa setiap bidang industri, baik pertambangan, perdagangan, manufaktur, tourism, industri pers, dan industri lainnya, mempunyai peran sendiri dalam pembangunan bangsa dan negara ini.

Kita harus fair berhitung. Contohnya Adaro, pada 2011 saja kontribusinya kepada pemerintah lewat pajak dan royalti mencapai lebih dari USD 800 juta. Belum lagi kontribusi dalam bentuk CSR, community development, dan penyerapan tenaga kerja. Jadi bagi sesama pelaku industri saya mengimbau, marilah kita buktikan kontribusi nyata kita bagi bangsa dan negara, dan jangan saling memojokkan. Apalagi boleh dibilang 90% pelaku industri batubara ini bangsa Indonesia sendiri.

DE: Jadi memang kurang tepat anggapan bahwa semua tambang batubara merusak?

GT: Memang saya akui, di setiap bidang industri selalu ada pelaku-pelaku industri yang kurang bertanggung jawab, tapi mungkin hanya sebagian kecilnya. Seperti di iundustri pers, juga tidak semuanya bagus kan? Demikian pula di dunia ekspor-import misalnya, tidak semuanya jujur. Juga pada industri tourism misalnya, ada pula pemilik hotel yang menjalankan bisnisnya dengan tidak benar. Demikian pula di industri batubara.

Saya tidak menutup mata, di industri batubara ada teman-teman yang usahanya skala kecil dan sangat marginal, mungkin belum memberikan kontribusi yang nyata dan jelas kepada bangsa. Kalau Adaro sendiri, sampai saat ini terus berkomitmen melaksanakan Good Mining Practice. Tentu kita akan sangat memperhatikan berbagai hal, mulai dari safety, lingkungan, tanggung jawab sosial, dan segala hal yang menjadi bagian dari kaidah penambangan yang baik.

Terlepas dari itu, sudah menjadi tugas masing-masing stakeholder di setiap bidang industri, untuk membenahi sektornya agar lebih baik. Maka dari itu, saya melalui Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) juga sudah meminta, agar sebisa mungkin ada keterwakilan pengurus APBI dari daerah. Sehingga kita bisa merangkul teman-teman yang ada di daerah, dan nantinya bisa memberikan masukan dan sharing, agar industri batubara ini bisa menjadi semakin baik.

Apa yang disampaikan Boy Thohir bukanlah isapan jempol. Dalam 20 tahun perjalanannya (per Oktober 2012) Adaro memang sangat perhatian pada lingkungan dan memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi. Terhitung, perusahaan energi terintegrasi ini sudah empat kali meraih penghargaan PROPER Peringkat Hijau, dari Kementerian Lingkungan Hidup.Penghargaan lain yang diterima Adaro adalah Aditama Peringkat Emas dua kali berturut-turut dari Kementerian ESDM. Juga penghargaan dari Kementerian Kehutanan pada 2011, sebagai perusahaan yang turut mendukung program pemerintah penanaman 1 milyar pohon.

Dalam hal tanggung jawab sosial, Adaro mendapatkan beberapa penghargaan baik dari institusi nasional maupun internasional. Sebut saja GKPM award 2011 sebanyak 3 penghargaan dari Menkokesra, 7 penghargaan untuk Indonesia CSR Award dari Kementrian sosial dimana dua diantaranya meraih peringkat PLATINUM: program pemberantasan buta katarak dan penciptaan akses air bersih dari air tambang. Upaya mengurangi tingkat kematian bayi baru lahir dan kesehatan ibu atau KIBBLA juga mendapatkan pengakuan international dalam ajang Asia Responsible Enterpreneurship Award (AREA) se Asia Tenggara.

Perusahaan yang mempekerjakan sekitar 20.000 orang karyawan ini,setiap tahun  juga mendapatkan Penghargaan bidang kesehatan dan keselamatan kerja dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pada 2011, pembayaran pajak Adaro kepada Pemerintah Indonesia mencapai USD 450,5 juta, dan royalti sebesar USD 405,4 juta, atau totalnya setara dengan Rp 7,7 triliun. Pada tahun 2012 ini, PT Adaro Indonesia mendapatkan penghargaan sebagai “wajib pajak patuh” dari KPP PMA 3 Jakarta yang berlaku hingga 31 desember 2013. Penghargaan ini berdasarkan Keputusan Dirjen Pajak No. KEP. 127/WPJ-07/2012.

Sedangkan untuk CSR, setiap tahun Adaro dan kontraktornya menggelontorkan dana lebih dari Rp 50 miliar, dan jumlahnya terus bertambah sesuai dengan kebutuhan dan program CSR yang dilaksanakan. 

DE: Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, menurut Anda apakah investasi di sektor pertambangan batubara Indonesia masih cukup menarik saat ini?

GT: Pertama yang saya perlu tekankan, investasi di sektor pertambangan ini risikonya tinggi, dan skalanya harus besar. Pertimbangan untuk berinvestasi di industri pertambangan harus dilihat secara long term (jangka panjang) tidak bisa short term (jangka pendek). Saya sendiri menilai, investasi di sektor pertambangan utamanya batubara di Indonesia masih cukup menarik. Namun agar industri batubara Indonesia tetap kompetitif, investor membutuhkan kepastian hukum dan penegakan asas fairness (perlakuan yang sama, red) dalam penerapan aturan.

Saat ini, kita pelaku industri batubara di Indonesia, harus selalu berhadapan dengan peraturan yang berubah-ubah. Dalam pengurusan izin, antara satu perusahaan dan perusahaan lainnya, juga ada perlakuan yang berbeda. Demikian pula dengan pengenaan royalti. Perusahaan pemegang PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) seperti Adaro, dikenakan royalti 13,5%. Sedangkan perusahaan pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) hanya dikenakan royalti 3% atau 5%, dan yang paling besar 7%.

Okelah kalau misalnya IUP itu batubaranya lowrank dan tambangnya underground. Tetapi ada juga yang kalori batubaranya sama dengan Adaro, tambangnya juga tambang terbuka, royaltinya kok berbeda? Katakanlah perbedaan itu karena luas wilayah pengelolaannya. Tetapi dengan batasan luas IUP batubara 2.500 hektar, kalau satu pengusaha punya lima IUP, kan sama saja luasnya dengan PKP2B. Nah, royaltinya kok berbeda?

DE: Apa dampak yang dirasakan pelaku industri batubara Indonesia dengan ketidakpastian hukum dan belum adanya asas fairness dalam penerapan aturan tersebut? 

GT: Jadi dengan royalti 13,5% dan pajak 45% yang dikenakan pada perusahaan PKP2B seperti Adaro, industri batubara masih kompetitif dibandingkan industri sejenis di Australia, Kolumbia, atau Afrika Selatan. Buktinya harga jual batubara Adaro masih bisa berkompetisi dengan batubara sejenis dari negara lain di pasar ekspor. Akan tetapi kalau kebijakan berubah-ubah, lalu dikenakan lagi nanti pajak ekspor 20%, bea keluar, dan sebagainya, bisa-bisa batubara kita tidak kompetitif lagi.

Industri batubara ini kan baru mulai booming pada 2004, jadi kira-kira baru 8 tahun booming. Sekarang Adaro bisa memberikan kontribusi yang cukup besar lewat pajak dan ekspor, juga CSR, Community Development, dan penyerapan tenaga kerja. Tetapi kalau gara-gara berbagai peraturan yang memberatkan dan tidak adanya kepastian hukum batubara menjadi tidak lagi kompetitif, tentu sumbangsihnya untuk bangsa dan negara akan berkurang.  Tidak bisa memberikan kontribusi lebih terhadap pembangunan di Tanah Air.

DE: Lalu apa masukan Anda untuk pemerintah?

GT: Menurut saya, mungkin niat pemerintah lewat berbagai peraturan baru yang diterbitkan, ingin menghukum atau membatasi pelaku usaha tambang yang kurang bertanggung jawab. Tetapi ibarat sebuah keluarga, kalau dalam lima bersaudara ada satu yang berbuat salah, jangan semuanya dihukum dong. Masa kalau adik terkecil yang bolos, empak kakaknya ikut dihukum? Mestinya empat kakaknya yang tidak membolos diberi reward, bukan di-punish.

Masukan saya kepada pemerintah dan stakeholder batubara, marilah kita buat industri batubara Indonesia ini tetap kompetitif, lewat kepastian hukum dan asas fairness dalam penerapan aturan. Dengan begitu, industri ini akan mampu memberikan kontribusi yang lebih besar kepada bangsa dan negara.

DE: Soal ketahanan energi nasional, apa visi Anda?

GT: Menurut saya, memang energi fosil yang tidak terbarukan seperti minyak, batubara, dan gas, suka tidak suka, 100, 200, atau 300 tahun lagi pasti habis. Sekarang minyak sudah langka dan mahal, sehingga pemerintah dalam Roadmap “Energy Mix” mengatakan tidak boleh lagi ada pembangunan pembangkit listrik berbahan bakar minyak. Nah, second line setelah minyak ya batubara.

Karena batubara kita banyak dan masih murah dibandingkan energi lain, investasi di PLTU (Pusat Listrik Tenaga Uap/batubara) juga masih memberikan return yang menarik karena pasarnya masih luas, ayo kita bangun sebanyak mungkin PLTU di Indonesia. Kalau dalam negeri membutuhkan batubara, Adaro siap memasok. Sekarang pun pasar batubara Adaro yang terbesar adalah ke dalam negeri, dan kita supplier terbesar untuk batubara domestik, baik PLTU, industri, dan lain-lain. Adaro pun tidak lagi hanya menambang, tetapi sudah ikut membangun PLTU.

Berangkat dari perusahaan tambang batubara, PT Adaro Energy Tbk saat ini telah menjadi sebuah perusahaan energi terintegerasi. Perusahaan yang listing di Bursa Efek Indonesia dengan kode ADRO ini, telah mendirikan anak perusahaan bernama PT Adaro Power yang bergerak dibidang pembangkit listrik. Selain membangun PLTU Jawa Tengah 2 x 1.000 Megawatt (MW), Adaro Power juga telah memenangkan tender pembangunan PLTU Kalimantan Selatan 2 x 100 MW.

Jauh sebelumnya, lewat anak perusahaannya PT Mitra Sejahtera Wisesa, Adaro juga telah membangun PLTU Mulut Tambang di Tanjung, dekat wilayah operasi tambangnya, berkapasitas 2 x 30 MW. Di site penambangannya, di Tanjung, Tabalong, Kalimantan Selatan, Adaro juga telah membangun “pilot project”  pabrik biofuel yang ditargetkan bisa memproduksi lebih dari 10.000 ton solar nabati per tahun dengan asumsi 30 ton/hari. Untuk pemasaran batubara, pada 2011 penjualan Adaro telah menembus 49 juta ton. Dari jumlah itu, 25%-nya dijual ke dalam negeri. Adaro pun menargetkan ke depan dapat menjual batubara ke pembangkit listrik di dalam negeri hingga 11 juta ton per tahun. 

DE: Ada yang berpendapat, sebaiknya saat ini laju produksi dan ekspor batubara Indonesia direm, agar dapat menjadi cadangan energi di masa depan. Bagaimana menurut Anda?

GT: Jangan lupa, suatu saat nanti, cepat atau lambat pasti akan ditemukan teknologi baru bidang energi. Semua negara maju sedang menuju ke sana sekarang. Contohnya sell gas, kabarnya Amerika telah menemukan sell gas yang cadangannya bisa digunakan hingga 200 tahun. Mungkin sebentar lagi China juga akan menemukan yang serupa. Kalau itu terjadi, batubara tidak laku lagi dan kita tidak bisa memberikan kontribusi apa-apa lagi kepada negara.

Jangan jauh-jauh, sebelum bencana nuklir Fukushima, pasar ekspor batubara juga tidak sebagus sekarang. Orang lebih tertarik menggunakan nuklir, yang dianggap lebih efisien. Jadi saya lebih mengusulkan, ayo kita tingkatkan penggunaan batubara dan gas di dalam negeri untuk pembangkit listrik. Tetapi selama batubara dan gas ini masih bisa diekspor dan memberikan revenue bagi pemerintah, mari kita tetap kelola secara bijak. Yang penting, hasilnya ada yang disisihkan untuk investasi dalam pengembangan renewable energy (energi terbarukan).

Kembali saya ambil ilustrasi sebuah keluarga. Mumpung suaminya masih kuat bekerja, biarkan bekerja sekuat tenaga. Uang yang dihasilkan, harus ada yang disisihkan untuk asuransi dan deposito. Agar suatu saat ketika suaminya sudah tidak mampu bekerja lagi, istri dan anak-anaknya bisa memanfaatkan asuransi untuk kesehatan, pendidikan, dan sebagainya, serta mengambil manfaat dari investasinya dalam bentuk deposito.

DE: Setelah Adaro memperoleh PROPER Emas atas kiprahnya di bidang pengelolaan lingkungan, apa yang masih menjadi obsesi bagi Anda sebagai pelaku usaha dan anak bangsa?

Saya selalu mengatakan kepada semua teman saya di Adaro, kita harus membuat perusahaan ini lebih besar lagi dan lebih baik lagi. Karena hanya dengan kita menjadi lebih besar, maka kita bisa memberikan kontribusi yang lebih besar bagi bangsa dan negara. Contohnya 10 tahun lalu Adaro belum sebesar sekarang, kita cuma bisa menyerap 5.000 tenaga kerja. Sekarang tenaga kerja yang terserap oleh Adaro sudah mencapai 20.000 orang. Itu membuktikan bahwa kita harus lebih besar, untuk bisa menyerap tenaga kerja yang lebih besar lagi. Kontribusi kita lewat royalti dan pajak juga akan makin besar, dan kontribusi Adaro bagi bangsa dan negara akan semakin terasa.

Kalau saya secara pribadi, apa yang ada sekarang alhamdulillah sudah cukup. Untuk karyawan yang sudah bergabung di Adaro juga mungkin sudah cukup. Tetapi untuk saudara-saudara kita yang lain, yang belum punya pekerjaan, yang belum punya income, itu kan belum cukup. Pajak dan royalti kita juga masih terus dibutuhkan oleh negara, untuk membangun infrastruktur dan sebagainya. Sekarang jangankan  di daerah, di Jakarta saja misalnya di Pelabuhan Tanjung Priok dan  Bandara Soekarno – Hatta, sudah penuh sesak dan butuh pengembangan. Biayanya tentu dari pajak dan PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) yang dibayarkan pelaku industri, termasuk pertambangan.

Lalu kedua, seperti umumnya manusia, kita juga ingin “dikenang”. Jadi selain bisa memberikan kontribusi yang nyata pada bangsa, saya juga bercita-cita Adaro menjadi pemain kelas dunia, dan masuk jajaran “Fortune 500” (500 perusahaan terkemuka di dunia). Karena itu akan menjadi kebanggaan kita sebagai bangsa Indonesia. Mungkin tidak lama lagi, karena tahun lalu revenue kita sudah USD 4 miliar. Mungkin kalau revenue Adaro sudah mencapai USD 10 miliar, dua atau tiga kali dari revenue sekarang, insya Allah bisa masuk “Fortune 500”. Jadi kita masih harus berjuang keras, dan tidak boleh cepat merasa puas.

(Hidayat Tantan & Abraham Lagaligo / duniaenergi@yahoo.co.id)