JAKARTA – PT Freeport Indonesia melalui induk usahanya, Freeport McMoRan Copper and Gold Inc, perusahaan tambang asal Amerika Serikat menyatakan akan melakukan tindakan jangka pendek seiring belum keluarnya izin ekspor konsentrat hingga 25 Januari 2017.

Freeport telah menginformasikan ke pemerintah Indonesia terhadap kemungkinan pengurangan produksi agar sesuai kapasitas yang tersedia di PT Smelting Gresik, Jawa Timur atau sekitar 40 persen dari kapasitas produksi Freeport Indonesia. Hal itu dengan asumsi lisensi ekspor PT Smelting disetujui.

“Dalam skenario jangka pendek diperlukan langkah mengurangi tenaga kerja, secara signifikan mengurangi biaya dan menangguhkan investasi masa depan pada proyek-proyek pembangunan tambang bawah tanah dan smelter baru,” ungkap manajemen Freeport McMoRan yang termuat dalam laporan keuangan tahunan yang dirilis Rabu (25/1).

Freeport mengklaim pada 2017-2021, belanja modal yang dibutuhkan untuk mengembangkan proyek-proyek berskala besar di tambang Grasberg, Papua akan mencapai US$ 1 miliar per tahun.

Menurut Freeport, di bawah kontrak karya, Freeport Indonesia memiliki hak untuk melakukan ekspor konsentrat tembaga tanpa pembatasan atau pembayaran pajak ekspor. Untuk itu, Freeport mempertimbangkan tindakan hukum untuk menegakkan hak sesuai dalam kontrak, jika gagal mencapai kesepakatan yang saling memuaskan dengan pemerintah Indonesia.

Izin ekspor konsentrat Freeport yang terakhir tercatat berakhir pada 11 Januari 2017. Surat Persetujuan ekspor itu diberikan Kementerian ESDM ke Kementerian Perdagangan. Dalam rekomendasi itu, Freeport memperoleh kuota ekspor konsentrat tembaga sebanyak 1,4 juta ton. Freeport saat itu dikenakan bea keluar lima persen dari nilai volumen konsentrat yang diekspor.

Pemerintah pada awal tahun ini telah merilis Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan Pemerintah Nomor 1 tahun 2017 diterbitkan dalam rangka pelaksanaan peningkatan nilai tambah mineral logam melalui kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara yang berupaya mendorong terwujudnya pembangunan fasilitas pemurnian didalam negeri.

Sejumlah poin utama dan peraturan baru itu adalah ketentuan tentang divestasi saham hingga 51 persen secara bertahap sejak masa produksi bagi semua pemegang kontrak karya dan IUPK. Perubahan jangka waktu permohonan perpanjangan untuk izin usah pertambangan (IUP) dan izin usaha pertambangankhusus (IUPK), paling cepat 5 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu izin usaha.

Kewajiban pemegang kontrak karya itu untuk merubah izinnya menjadi rezim perijinan pertambangan khusus operasi produksi. Penghapusan ketentuan bahwa pemegang KK yang telah melakukan pemurnian dapat melakukan penjualan hasil pengolahan dalam jumlah dan waktu tertentu. Serta pengaturan lebih lanjut terkait tatacara pelaksanaan Peningkatan nilai tambah dan penjualan mineral logam akan diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri.

Seiring dengan terbitnya aturan tersebut, Freeport telah mengeluarkan surat ke pemerintah yang menyatakan kesediaannya berubah dari perusahaan pemegang kontrak karya menjadi perusahaan pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus. Namun Freeport tetap meminta hak yang sama terkait kepastian hukum dan fiskal seperti halnya yang tercantum dalam kontrak karya.

Selain itu, Freeport meminta tetap diberikan izin ekspor konsentrat sambil negosiasi perpanjangan kontrak pertambangan dan perjanjian stabilitas dilakukan.

“Freeport masih membahas penerapan bea keluar dan persyaratan divestasi dengan pemerintah Indonesia. Di bawah kontrak karya, Freeport tidak diharuskan membayar bea ekspor konsentrat atau untuk melakukan divestasi lanjutan,” kata manajemen Freeport McMoRan.

Menurut Freeport, saat ini Freeport Indonesia tengah memasuki tahap akhir produksi tambang terbuka Grasberg, Papua yang mengandung tembaga dan bijih emas. Freeport tetap mengharapkan bisa menambang bijih mineral bermutu tinggi dalam beberapa kuartal ke depan, sebelum transisi ke tambang bawah tanah Grasberg dilakukan.

Manajemen Freeport McMoRan mengungkapkan Freeport tengah mengembangkan skala besar distrik mineral Grasberg. Secara agregat, bijih mineral di tambang bawah tanah ini diharapkan bijih tembaga dan emas dalam jumlah besar.
Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sebelumnya mengakui telah menerima surat dari Freeport terkait kebijakan baru yang diterbitkan. Pemerintah menegaskan Freeport harus mengikuti aturan yang telah dibuat.

“Tidak ada negosiasi. PP-nya sudah ditandatangani presiden, permen-nya sudah ditandatangani menteri. Jadi ikut (Freeport) aturan saja,” tegas Arcandra Tahar, Wakil Menteri ESDM.(AT)