Pak Rozik

Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik B Soetjipto.

Suara tetabuhan berpadu teriakan penuh semangat, membahana mengiringi gerak rancak puluhan pria dan wanita, di salah satu sudut Jakarta Selatan petang itu. Mengubah suasana Pelataran Dharmawangsa bak di tengah pedalaman Papua.

Tarian yang disuguhkan Kelompok Seni dan Budaya binaan Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK) itu menjadi pembuka Halal Bihalal Direksi dan Manajemen PT Freeport Indonesia bersama awak media massa, Jumat, 14 September 2012. Seolah menjadi pemanasan, sebelum mereka tampil di Goethe-Institut Jakarta keesokan harinya.

Bukan cuma itu, hidangan khas Bumi Cendrawasih juga turut menambah keakraban. Tak henti-hentinya para undangan menikmati berbagai santapan berbahan dasar sagu, sembari bersalaman bermaaf-maafan. Aroma kopi organik robusta semakin membangkitkan selera.

Selang beberapa saat setelah berakhirnya tarian, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, Rozik B Soetjipto pun menyapa para undangan. Mengawali sambutan dengan ucapan Selamat Idul Fitri dan permohonan maaf mewakili karyawan, barisan kalimat yang terucap dari bibir tokoh senior pertambangan ini, mengisyaratkan hasrat untuk lebih terbuka kepada masyarakat Indonesia, tentang kiprah perusahaan yang dipimpinnya.

Ia mengaku geli, sampai saat ini masih ada sebagian kalangan, yang menaruh curiga pada operasi Freeport di Papua. “Masih ada yang bertanya kepada saya, apakah Anda tahu berapa persisnya konsentrat yang dikirim dari Tembaga Pura ke seantero dunia. Terkesan, operasi Freeport di Papua sangat rahasia,” ungkapnya.

“Saya jawab, tentu saja saya tahu, karena seluruh kegiatan Freeport termasuk di Papua, ada sistemnya,” kata Rozik. Mulai dari tambang, lalu ke pabrik pengolahan bijih, kemudian tailing, berapa yang masuk ke stock pile, berapa yang diproduksi, berapa yang diangkut ke kapal, semua bisa dikontrol dan diketahui jumlahnya. “Kalau ada yang miss, pasti langsung ketahuan,” ujarnya.

Sebelum diekspor, lanjutnya, juga ada surveyor independen yang memeriksa volume dan kadarnya, yaitu PT Sucofindo yang petugas lapangannya juga orang-orang Indonesia. Bea cukai juga ikut memeriksa. Sampai di negara tujuan, konsentrat yang dikirim itu diperiksa kembali, apakah kadar dan volumenya sudah sesuai dengan dokumen pengiriman.

Hal itu, tutur Rozik, sudah pernah diterangkannya kepada Amien Rais, mantan Ketua MPR yang sempat getol mengkritik Freeport. Juga kepada almarhum Widjajono Partowidagdo saat menjabat Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

“Saya bilang ke beliau, kalau mau menghitung penerimaan Freeport, jangan suruh orang menghitung truk tambang yang mondar-mandir. Tapi cek data-data seperti yang saya sebutkan itu,” ujarnya.

Renegosiasi Berjalan Lancar

Menyampaikan sambutan selaku pucuk pimpinan Freeport Indonesia, Rozik tak bisa lepas dari isu terkini terkait operasi perusahaan tambang emas dan tembaga itu, yakni renegosiasi.

Menurutnya, pembahasan rencana amandemen Kontrak Karya Freeport berjalan cukup lancar. “Kami memahami bahwa pemerintah ingin meningkatkan penerimaan negara. Namun semuanya kembali pada kesepakatan kedua belah pihak,” tuturnya.

Rozik sendiri dikenal sebagai tokoh pertambangan yang mendukung renegosiasi Kontrak Karya. Sebelumnya, dalam banyak kesempatan ia mengemukakan, kontrak-kontrak pertambangan yang ada di Indonesia memang sudah terlalu tua, dan butuh diperbarui.

“Pasal 23 Kontrak Karya itu sendiri mencantumkan kemungkinan adanya isi kontrak yang diubah,” jelas mantan Direktur Jenderal Pertambangan dan Energi Kementerian ESDM ini.

Pasal-pasal amandemen Kontrak Karya yang diusulkan pemerintah sendiri, terkait dengan luasan wilayah, royalti, kewajiban mengolah mineral dengan membangun smelter di dalam negeri, kewajiban penggunaan barang dan jasa di dalam negeri, perpanjangan kontrak menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP), dan soal divestasi.

Untuk luasan wilayah, Rozik memahami pemerintah ingin mendapat laporan rencana jangka panjang, berapa luas wilayah yang dapat dikelola Freeport hingga kontraknya berakhir pada 2041. Menurutnya, untuk penambangan sendiri, Freeport tidak akan keluar dari luasan 10.000 hektar (Blok A) yang sudah ditambang saat ini.

Selanjutnya, penambangan Freeport di Papua akan bergerak ke bawah tanah (underground mining). “Namun kita masih membutuhkan wilayah di luar itu, untuk menunjang operasi. Kalau ada yang tersisa, tentu akan kita kembalikan ke pemerintah,” tegasnya.

Selanjutnya soal kenaikan angka royalti, Rozik menandaskan bahwa Freeport memiliki komitmen yang sama dengan pemerintah. Yakni memberikan manfaat yang sebesar-besarnya untuk kemakmuran bangsa. Maka dari itu, perlu diteliti lagi, apakah nantinya jika royalti Freeport dinaikkan, tidak malah mengurangi penerimaan negara dari pajak, yang angkanya jauh lebih besar dari royalti.

Pajak merupakan persentase dari laba bersih yang diperoleh Freeport. Kalau laba meningkat, pajak otomatis ikut meningkat. Sedangkan royalti merupakan pengganti dari sumber daya alam yang dieksploitasi oleh perusahaan. Semacam penegasan bahwa sumber daya alam itu milik negara. Untung atau rugi, jumlahnya tidak berubah. Royalti juga masuk dalam kategori biaya, sehingga mengurangi laba.

“Jangan sampai nanti gara-gara royalti dinaikkan, pajak dari Freeport malah menurun karena labanya menurun,” tukas Rozik. Pada 2011, setoran Freeport ke pemerintah mencapai USD 2,4 miliar. Dari jumlah itu, 80%-nya adalah pajak terutama pajak korporasi dan pajak lain-lain. Lalu 11%-nya dividen, dan 9%-nya baru royalti. “Ini yang seringkali belum dipahami masyarakat,” urainya.

tambang freeport

Tambang Grasberg PT Freeport Indonesia di Papua.

Over Supply Copper Cathode

Kemudian soal kewajiban mengolah konsentrat dengan membangun smelter di dalam negeri. Rozik membenarkan bahwa perlu ada nilai tambah bagi produk-produk pertambangan Indonesia. Namun ia mengingatkan, agar kebijakan itu tidak dipukul rata pada semua jenis mineral.

Misalnya untuk nikel, pengembangannya lebih cepat dan varian produknya banyak. Bisa ferronickel, nickelmatte, nickel pig iron, dan sebagainya. Tetapi kalau tembaga, varian produk pasca konsentratnya tidak banyak, paling menjadi copper cathode. Sementara saat ini pasar dunia sedang over supply copper cathode. Jumlah yang ada di pasaran lebih banyak dari kapasitas pabrik pengolahannya.

Sejauh ini, lanjut Rozik, copper cathode yang diproduksi PT Smelting Gresik hanya 40% yang terserap di dalam negeri, 60%-nya diekspor. Maka dari itu, nilai tambah tembaga di Indonesia mestinya lebih ke hilir, hingga manufacturing. Sehingga industri di dalam negeri dapat menyerap produksi copper cathode PT Smelting Gresik yang ada saat ini. Misalnya untuk memproduksi roll, kabel atau copper rods, tembaga paduan atau alloy, perunggu, dan lebih ke hilir lagi. Hasilnya akan lebih besar.

Ditambah lagi, untuk tembaga waktu pengembangannya lama. Ia mengaku, Freeport agak kesulitan kalau harus membangun smelter sendiri paling lambat 2014. Saat ini baru 30 – 35% konsentrat tembaga Freeport yang diolah PT Smelting Gresik. Kalau harus 60 – 65% lagi yang harus diolah di dalam negeri, sulit karena untuk membuat smelter tembaga yang kapasitasnya sama dengan PT Smelting Gresik, dibutuhkan investasi hingga USD 1 miliar lebih.  “Jadi tidak semua masalahnya sama,” tambahnya.

Selain itu, Freeport telah menerima hasil studi sebuah lembaga konsultan, yang menyebutkan saat ini belum feasible dibangun smelter pemurnian dan pengolahan tembaga di Indonesia. “Namun kami siap untuk melakukan studi ulang bersama pemerintah,” tukas Rozik.

copper cathode

Copper cathode produksi PT Smelting Gresik.

Freeport juga sudah membangun pembicaraan dengan beberapa investor yang berencana membangun smelter tembaga di Indonesia. Sayangnya, produk yang akan dihasilkan juga hanya sampai copper cathode.

Kemudian terkait penggunaan barang dan jasa di dalam negeri, Freeport pun siap mendikusikannnya. “Intinya Freeport mempunyai komitmen yang sama dengan pemerintah, untuk meningkatkan kemakmuran bangsa,” tegasnya. Namun, semua pihak harus memikirkan juga kelanjutan investasi Freeport di Indonesia.

Misalnya terkait kelanjutan operasi Freeport pasca Kontrak Karyanya berkahir pada 2041. Menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba) perpanjangannya dalam bentuk IUP.

Rozik berharap IUP yang diterbitkan sebagai perpanjangan Kontrak Karya, nantinya tidak hanya selembar kertas. Melainkan rigit mengatur hak dan kewajiban seperti yang tertuang dalam Kontrak Karya. “Prosedur pencabutan izin juga harus dicantumkan, sehingga tidak berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan nantinya, dan investor merasa terlindungi,” jelasnya.

Kemudian yang terkait dengan divestasi, Rozik menegaskan bahwa berdasarkan Kontrak Karya, seluruh kewajiban divestasi Freeport sudah terpenuhi. “Tapi kalau kita diminta mengikuti UU Minerba, divestasi sampai 51%, kita akan berdiskusi lagi,” pungkasnya. (Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)