JAKARTA – Pemerintah saat ini masih mengkaji penetapan formulasi khusus harga batu bara yang dijual ke pembangkit listrik tenaga uap (PLTU). Formulasi diharapkan tidak hanya mempertimbangkan konsumsi batu bara untuk pembangkit  listrik nasional yang sekitar 20%.

Ido Hutabarat, Ketua Indonesia Mining Association (IMA) sekaligus President Direktur PT Arutmin, mengatakan formulasi khusus harga batu bara untuk listrik nasional sebaiknya dilakukan dengan berbagai pertimbangan.

“Sebaiknya mempertimbangkan efeknya terhadap industri batu bara, penjualan batu bara yang 80% lagi (konsumsi batu bara untuk pembangkit  listrik nasional sekitar 20%), dan juga harus mempertimbangkan konservasi cadangan batu bara,” kata Ido kepada Dunia Energi, Selasa (6/2).

Disan Budi Santoso, Direktur Eksekutif  Center for Indonesia Resources Studies (CIRUSS), menambahkan formulasi harga khusus batu bara untuk pembangkit listrik harus berdasarkan konsep yang disepakati bersama.

“Konsepnya harus disepakati dulu. Kalau menurunkan harga batu bara dimana akan menekan keuntungan penambang, maka tidak akan menarik,” ujar Disan.

Rencana penetapan harga khusus batu bara ini muncul dari ketidaknyamanan PT PLN (Persero) dengan harga batu bara yang bergerak secara fluktuatif. Sejak semester II 2017, harga emas hitam ini merangkak naik hingga level US$100 per ton.

Saat ini, porsi batu bara dalam bauran energi primer PLN mencapai kisaran 60%. Dengan demikian, kenaikan harga batu bara berpotensi membebani PLN di bagian hulu. Pada tahun lalu, PLN pun menggaungkan usulan  untuk menggunakan skema cost plus margin. Untuk saat ini, skema tersebut hanya digunakan pada penjualan batu bara PLTU mulut tambang. Marginnya sesuai kesepakatan antara penambang dan pengembang listrik dengan batasan antara 15%-25%.

Ignasius Jonan, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menilai skema cost plus margin untuk menentukan harga jual batu bara sudah usang. Skema tersebut tidak mendorong produsen dan pembeli batu bara untuk lebih meningkatkan efisiensinya. Patokan cost atau ongkos produksinya rawan dipermainkan.

Menurut Disan, sebaiknya pemerintah mempertimbangkan penerapan royalti bagi listrik dalam negeri. Rakyat Indonesia memiliki sumber daya alam berupa batu bara yang cukup melimpah, sehingga semestinya tidak harus membayar listrik dengan tarif yang sama dengan negara lain yang tidak mempunyai batu bara.

Pemerintah harus menghitung berapa subsidi yang dikeluarkan untuk listrik yang diproduksi dari batu bara yang kena royalti, dan berapa royalti yang didapat. “Kalau royaltinya lebih kecil atau sama dengan subsidinya maka pemerintah sebaiknya menghapus(royalti), kecuali kalau royaltinya lebih besar,” tandas Disan.(RA)