JAKARTA– Ancaman pasokan tembaga dan perkirakan pertumbuhan penambangan menjadi faktor fundamental yang berpotensi mendongkrak harga tembaga di pasar global dalam jangka panjang. Harga tembaga berpotensi mulai menggeliat pada kuartal II 2017.

Aksi mogok kerja di tambang  tembaga Escondida, produsen tembaga terbesar di dunia di Chili, sebenarnya membawa sentimen positif pada harga. Mogok kerja membuat produksi tembaga berhenti dan pasokan global terancam defisit.

Tekanan pasokan juga datang dari Indonesia karena PT Freeport Indonesia, anak usaha Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, membatasi produksi dari tambang Grasberg di Papua. Padahal, sepanjang tahun lalu, realisasi produksi dan penjualan tembaga PT Freeport Indonesia melonjak 41%. Menurut laporan keuangan Freeport-McMoRan per Desember 2016, produksi tembaga Freeport Indonesia naik dari 752 juta pound pada 2015 menjadi 1,06 miliar pound pada 2016. Tidak berbeda angka penjualan tembaga juga naik dari 2015 sebesar 744 juta pound menjadi 1,05 miliar pound pada 2016.

Awalnya, Freeport-McMoRan memproyeksikan kenaikan produksi tembaga sepanjang tahun ini dari tambang Grasberg sebesar 1,3 miliar pound. Untuk setiap bulan penundaan rencana produks karena persoalan
mendapatkan izin ekspor, produksi Freeport dari Papua diprediksi terpangkas 70 juta pound untuk tembaga.

Citigroup Inc memperkirakan pasokan tembaga global akan defisit pada semester I dan berlanjut hingga tahun 2020. Proyeksi Citigroup, tembaga bakal menyentuh US$ 8.000 per metrik ton tahun ini. Di kuartal II harga tembaga diperkirakan mencapai US$ 6.200 per ton dan naik lagi ke level US$ 7.000 per ton pada kuartal III.

Hingga kuartal I 2017, harga tembaga dunia di bursa London mencapai level tertingginya dalam 20 bulan (sejak Mei 2015) pada pertengahan Februari 2017, yaitu naik ke level US$ 6.097 per metrik ton. Hal ini sejalan dengan penutupan dua tambang tembaga terbesar di dunia menimbulkan kecemasan akan kurangnya pasokan.

Kit Juckes, strategist makro di Societe Generale, mengatakan tembaga adalah komoditas yang saat ini patut diperhatikan. Hal ini berpotensi menyebabkan harga komoditas memiliki tendensi untuk berkorelasi.
Namun demikian, menurut analis senior Vivienne Lloyd dari Macquarie, dampak apa yang terjadi di kedua tambang tersebut cenderung terbatas.

Dia menilai, dampak apa yang terjadi dengan Freeport-McMoRan di Indonesia bisa jadi lebih besar. Menurut Lloyd, ketidakpastian sebenarnya terjadi di Grasberg, Papua, tambang terbesar Freeport di Indonesia.

“Ketidakpastian tetap berada di sekitar Grasberg (Indonesia). Kami pikir Freeport Indonesia cenderung menurunkan operasionalnya,” ujarnya seperti dikutip Reuters.

Sepanjang tahun lalu, tembaga merupakan salah satu komoditas logam industri yang berhasil rebound dari keterpurukan 2015. Perbaikan ini didorong dari permintaan dari China. Berkat melambungnya permintaan dari negeri Tirai Bambu tersebut, tembaga mulai bertenaga kembali.

Data Shanghai Metal Market menunjukkan, impor tembaga setengah jadi periode Januari-November 2016 naik sekitar 0,4% dibanding periode yang sama di tahun sebelumnya. Sedangkan impor konsentrat tumbuh jauh lebih tinggi hingga 29%.

Tak hanya permintaan, terjadinya defisit pasokan juga turut melambungkan harga. International Cooper Study Group (ICSG) mencatat, selama periode Januari – September 2016 terjadi kekurangan pasokan tembaga sebanyak 84.000 ton. Padahal kebutuhan global dalam periode tersebut mengalami kenaikan hingga 3%.

Tahun ini setidaknya ada sejumlah faktor yang cukup memengaruhi pergerakan harga. Potensi kenaikan produksi hingga kebijakan presiden Amerika Serikat (AS) terpilih Donald Trump di sektor infrastruktur serta kebijakan otomotif dan konstruksi China akan mewarnai kinerja tembaga di tahun depan.

Menurut Daniel Hynes, senior commodities strategist Australia and New Zealand (ANZ) Banking Group, sentimen tembaga cenderung mixed antara proyeksi penambahan pasokan dan pengetatan suplai. “Naiknya harga tembaga memang menjadi tantangan pasar ke depan yang masih ragu dengan tingkat fundamental suplai dan permintaan,” katanya seperti dikutip Bloomberg.

Di tengah sentimen yang masih mixed, Citigroup Inc, memprediksi harga tembaga dapat menembus US$6.000 per ton. Terjadinya kenaikan harga disebabkan pertumbuhan pasokan yang masih melambat. Sekitar 3,5 juta ton kapasitas tambang atau 17% produksi global masih dalam proses perpanjangan kontrak tenaga kerja. (DR)