Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PAN, Totok Daryanto.

Anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PAN, Totok Daryanto.

JAKARTA – Meski masih diwarnai pro dan kontra, pemerintah diminta untuk tidak berkompromi dan kembali memundurkan waktu dimulainya larangan ekspor mineral mentah pertambangan, yang jatuh tempo pada Ahad, 12 Januari 2014 lusa. “Hilirisasi pertambangan tidak boleh ditunda lagi,” tegas Anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Totok Daryanto.

Totok mengakui, sampai hari ini masih ada pelaku usaha pertambangan, yang mengaku belum siap melaksanakan kewajiban mengolah dan memurnikan mineral tambang di dalam negeri. Mereka menyatakan, tambangnya akan tutup dan ribuan karyawan bakal di-PHK jika penerapan aturan itu tidak ditunda oleh pemerintah.

Protes terus berdatangan, hingga gugatan hukum terhadap kebijakan pemerintah. Rabu, 8 Januari 2014 lalu, rombongan karyawan dua perusahaan tambang emas dan tembaga terbesar di Indoensia, kabarnya juga mendatangi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) guna menanyakan nasib mereka, karena perusahaannya terancam tidak bisa beroperasi normal, jika hilirisasi tidak ditunda.   

Demi mendengar berbagai keluhan tersebut, kabarnya pemerintah tengah menyiapkan Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Menteri (Permen) yang merevisi kadar minimum mineral tambang. Dengan revisi ini, beberapa perusahaan tambang bakal memperoleh relaksasi (izin terbatas sementara) untuk mengekspor bijih alias mineral mentah.

Terkait situasi terakhir ini, Totok Daryanto mewakili Fraksi Partai Amanat Nasional (F-PAN) DPR menyatakan, tetap meminta pemerintah memberlakukan larangan ekspor mineral mentah, sesuai tenggat yang telah ditetapkan. Yakni mulai 12 Januari 2014, atau lima tahun sejak berlaku efektifnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).

Soal berbagai protes dan kekhawatiran karyawan yang mungkin bakal di-PHK, menurut Totok tetap dipertimbangkan. Pemerintah bisa memberikan win-win solution, lewat PP dan Permen yang akan diterbitkan.  “Namun untuk dimulainya pelaksanaan hilirisasi itu sesuai UU Minerba, pemerintah tidak boleh kalah, pengusaha harus dipaksa,” tegasnya kepada Dunia Energi, Jumat, 10 Januari 2014.

Memang benar, ujarnya, saat ini belum ada smelter baru pengolahan dan pemurnian yang berdiri di dalam negeri. Membangun smelter juga tidak bisa bim-salabim (dalam waktu cepat, red). Maka dari itu, bagi yang sudah mempunyai rencana mengolah mineralnya di dalam negeri, namun terkendala karena smelternya belum berdiri, bisa diberi kelonggaran.

“Tapi bagi yang belum punya rencana sama sekali, jangan dikasih hati. Kewajiban mengolah dan memurnikan mineral tambang di dalam negeri, yang diikuti larangan ekspor mineral mentah ini, sudah diatur UU dan disosialisasikan sejak lima tahun lalu. Pemerintah jangan lemah, yakinkan hilirisasi merupakan syarat Indonesia untuk mencapai kemakmuran,” jelas politisi asal PAN ini.

Justru, kata Totok, larangan ekspor mineral mentah untuk diolah di dalam negeri, merupakan sarana bagi para pengusaha tambang untuk bertobat. Mereka selama ini telah mengeruk kekayaan alam Indonesia dalam jumlah besar, namun yang menikmati hasilnya hanya segelintir orang. Karena diekspor mentah, nilainya rendah, dan pemasukannya untuk pemerintah serta rakyat tak seberapa.

“Mineral tambang ini sumber daya alam tak terbarukan. Kalau terus dijual mentah dan murah, kita yang rugi. Kalau tidak bisa mengolah, ya jangan menambang. Kalau mineral itu tidak ditambang, Indonesia tidak rugi. Karena mineral itu akan tetap tersimpan dalam Bumi Indonesia, untuk dimanfaatkan secara optimal di masa mendatang,” jelas Totok yang pada Pemilu 2014 nanti, kembali mencalonkan diri sebagai anggota DPR di Daerah Pemilihan (Dapil) Jawa Timur (Jatim) V – Malang Raya.

Soal karyawan perusahaan tambang yang terancam PHK, menurut Totok, merupakan dampak yang bersifat sementara. “Itu efek jangka pendek saja,” cetusnya. Sedangkan hilirisasi, merupakan perjuangan untuk masa depan bangsa dalam jangka panjang.

“Nantinya kan mereka bisa bekerja lagi, kalau sudah berdiri smelter-smelter pengolahan dan pemurnian hasil tambang. Disiapkan saja antisipasinya sementara. Justru kalau hilirisasi ini ditunda, berarti pemerintah melanggar Pasal 33 UUD 1945, yang mengamanatkan sumber daya alam dikuasai negara, dan diusahakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” tandasnya.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)