bagan EOR

Skema kerja EOR.

JAKARTA – Meski membutuhkan teknologi tinggi dan biaya yang cukup mahal, namun aplikasi Enhanced Oil Recovery (EOR) dalam meningkatkan produksi minyak, dinilai lebih menarik dan menjanjikan ketimbang melakukan eksplorasi sumur baru.

Kepala Divisi Humas, Sekuriti dan Formalitas Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (BPMIGAS) Hadi Prasetyo mengungkapkan, Indonesia berpotensi mendapatkan tambahan produksi 44.900 barel per hari (bph) minyak pada 2013, dari pengembangan 11 lapangan migas dan satu proyek EOR.

Proyek EOR yang sudah bisa ditangguk hasilnya tahun depan, adalah EOR pada lapangan Tanjung, Kalimantan Timur yang dioperasikan PT Pertamina EP. Injeksi bahan kimia pada sumur-sumur tua di lapangan itu, sudah dimulai pada September 2012.

EOR sendiri merupakan teknologi optimalisasi produksi minyak tingkat lanjut, dengan menginjeksikan surfaktan (bahan kimia yang dipilih untuk mengangkat minyak dari batuan yang sulit, red). Seperti diketahui, sumur-sumur yang sudah diproduksikan dengan pengeboran biasa (primer) rata-rata minyaknya baru terangkat 30 – 40%.

Untuk memaksimalkan produksi hingga 60 – 70% dari total cadangan minyak yang ada, biasanya diinjeksikan gas atau air (secondary treatment, red). Namun masih ada 40 – 30% cadangan minyak yang tersimpan di bebatuan yang sulit. Inilah yang dioptimalkan dengan teknologi EOR (tertiary treatment) dengan menginjeksikan bahan kimia.

“Jadi EOR ini seperti mengeksplorasi, namun lebih menarik dan menjanjikan. Karena pada sumur yang di-treatment EOR sudah pasti ada minyaknya. Berbeda dengan ekplorasi sumur baru, unsur ketidakpastiannnya sangat besar,” ungkap Hadi Prasetyo di Jakarta pekan lalu.

Toh ia tidak menampik, EOR menuntut teknologi dan biaya yang lebih tinggi, dengan proses bertahap. Pertama harus menentukan dulu bahan kimia yang dibutuhkan, dan kebutuhan bahan kimia tiap-tiap sumur berbeda. Pada tahap ini bisa memakan waktu sampai dua tahun.

Selanjutnya bahan kimia yang dipilih harus diuji dulu, apakah cukup tahan terhadap panas, dan aman (tidak mengakibatkan penyumbatan di pori-pori reservoir). Pada tahap ini bisa memakan waktu sampai tiga tahun, bahkan pengujian harus dilakukan di laboratorium di luar negeri.

Selanjutnya, bahan kimia atau surfaktan diujicoba di lapangan, apakah bisa terserap oleh batuan atau tidak. Pada tahap ini memakan waktu sekitar empat bulan. Kemudian baru dilakukan pilot project, untuk dievaluasi dalam satu tahun. Setelah itu baru proyek EOR bisa dilaksanakan dalam tahap komersil.

Deputi Perencanaan BPMIGAS, Widhyawan Prawiraatmadja menuturkan, pada 2012 sudah ada tiga lapangan minyak, yang diujicoba proyek EOR injeksi kimia. Pertama, lapangan  Minas, Riau yang dikelola PT Chevron Pacific Indonesia. Pada lapangan ini injeksi dijadwalkan mulai Oktober 2012.

Kedua, lapangan  Kaji-Semoga di Sumatera Selatan yang dikelola PT Pertamina EP, akan mulai diinjeksi bahan kimia pada Oktober 2012. Ketiga, lapangan Tanjung  yang dikelola PT Pertamina EP, dengan jadwal mulai injeksi September 2012.

“Sejauh ini, kendala kita dalam aplikasi EOR adalah teknologi, biaya, dan ketersediaan sumber daya manusia yang dapat melaksanakan kegiatan percepatan produksi minyak tingkat lanjutan ini,” pungkasnya. (Abraham Lagaligo/abrahamlagaligo@gmail.com)