JAKARTA – Ekspor biodiesel Indonesia masih tertahan oleh tuduhan Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (Eropean Union/EU) terkait praktik dumping dan pemberian subsidi. Uni Eropa berdasarkan laporan EBB (European Biodiesel Board) telah menuding perusahaan Indonesia dan Argentina yang mengekspor biodiesel ke Eropa mendapat subsidi dari pemerintah. Kasus subsidi telah dihentikan Uni Eropa pada 2013, namun Uni Eropa kemudian menuding perusahaan Indonesia melakukan dumping.

Surya Darma, Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), mengatakan perlu kerja keras agar ekspor biodiesel Indonesia yang masih terganjal oleh Amerika dan Uni Eropa bisa direalisasikan. “Dari aspek bisnis juga bisa menjadi kompetitor bagi beberapa negara. Di lain pihak seharusnya biodiesel juga bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan dalam negeri yang juga tidak sedikit jika dikaitkan dengan mandatori B20 dan B30 pada 2020,” kata Surya kepada Dunia Energi.

Paulus Tjakrawan, Ketua Harian Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (APROBI), mengatakan beberapa perusahaan Indonesia  telah mengadukan kasus tersebut ke Pengadilan Eropa dan perusahaan Indonesia menang.

“Namun, Uni Eropa naik banding 26 November 2017. Minggu lalu, Uni Eropa mencabut bandingnya. Pemerintah Indonesia mengadukan ke WTO, dan masih dalam proses,” ujar Paulus kepada Dunia Energi, Rabu (24/1).

Kasus tudingan subsidi dan dumping biodiesel juga dilakukan Amerika Serikat(AS). Pada 2017, US International Trade Commission (ITC) dan US Departement of Trade (DOD) melakukan penyidikan kepada perusahaan pengekspor biodiesel ke Amerika dan pemerintah Indonesia, juga Argentina) atas petisi National Biodiesel Board (NBB). Saat itu disimpulkan, perusahaan pengekspor biodiesel Indonesia (Wilmar, Musimmas dan lainnya) mendapat  subsidi pemerintah dan melakukan dumping.

“Saat ini, Kementerian Perdagangan dan perusahaan telah memutuskan untuk mengadukan kasus ini ke pengadilan di Amerika dan WTO,” ujar Paulus.

Sebelumnya, ekspor biodiesel ke AS dan Uni Eropa masing-masing bisa mencapai 400 ribu kiloliter (KL) dan 1,8 juta KL per tahun. Dengan adanya tudingan tersebut, ekspor tersebut terhenti sehingga ekspor biodiesel Indonesia tahun lalu hanya kurang dari 200 ribu KL.

Guna mendorong ekspor, pelaku usaha mulai membidik pasar dari negara yang memiliki komitmen tinggi untuk beralih ke energi baru terbarukan, salah satunya China.

China diperkirakan membutuhkan biodiesel sekitar 175 juta KL per tahun. Indonesia diyakini bisa memasok biodiesel hingga sembilan juta kl per tahun atau masih di bawah total kapasitas produksi nasional yang mencapai 11 juta hingga 12 juta KL per tahun.

Program pengembangan bahan bakar nabati (BBN) jenis biodiesel dimulai sejak 2006, dimana pada 2008 menjadi program mandatori di Indonesia. Mulai 2009-2014, program BBN mendapatkan dukungan subsidi dari APBN sejalan dengan dukungan subsidi pemerintah untuk BBM Public Service Obligation (PSO) bagi keperluan domestik.

Dengan adanya defisit perdagangan luar negeri tahun 2012 (perdagangan komoditas selain minyak bumi surplus US$ 4 miliar, perdagangan minyak bumi defisit US$ 5,6 miliar. Total defisit US$ 1,6 miliar) , maka penyediaan dana untuk subsidi BBN domestik dihentikan pada 2014. Program mandatori penggunaan BBN terhenti pada  2014.

Sejalan dengan itu harga CPO dunia menurun, yang mengakibatkan penerimaan pemerintah, petani sawit dan perusahaan juga menurun. Seperti diketahui karena pengalaman defisit perdagangan tersebut semua program terutama bantuan pemerintah banyak yang terpotong, termasuk program riset, replanting.

Atas inisiatif dari perusahaan sawit/pengekspor bersama pemerintah merancang program pengumpulan dana untuk meningkatkan kembali penerimaan pemerintah, petani sawit dan swasta, menjalankan kembali program BBN-Biodiesel serta program lain nya seperti Replanting, Riset, Promosi, Advokasi Sawit Indonesia.

Saat ini, telah 26 bulan program Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Sawit berjalan sambil menata program dan mekanisme yang semakin membaik, pendapatan petani sawit membaik, program replanting untuk petani sawit yang sudah mulai berjalan, program riset, promosi, advokasi berjalan, juga program pemerintah mandatory BBN-Biodiesel untuk PSO berjalan.

“Dengan catatan bahwa semua ini bisa berjalan dengan dukungan dana 100% dari swasta pengekspor produk sawit,” kata Paulus.(RA)