JAKARTA –  Ekspor batu bara yang tidak dilaporkan akibat perbedaan data di dalam negeri dari sejumlah instansi berindikasi menimbulkan kerugian negara hingga US$27,06 miliar.

“Kami menemukan indikasi transaksi ekspor batu bara yang tidak dilaporkan hingga sebesar US$27,06 miliar.  Nilai ini tentu memiliki implikasi terhadap penerimaan negara,” kata Firdaus Ilyas, Koordinator Divisi Riset Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam diskusi bertajuk “Kerugian Negara dari Unreporting Ekspor Batubara Indonesia 2006-2016” di Jakarta, Senin (20/11).

Menurut Firdaus Ilyas, indikasi tidak dilaporkannya ekspor batu bara berdampak pada indikasi kerugian negara, baik dari kewajiban perusahaan batu bara untuk pajak penghasilan, maupun royalti hingga sebesar Rp133,6 triliun.

Indikasi tidak dilaporkannya transaksi batu bara juga dapat timbul dari satu persoalan mendasar, yaitu dari sisi administratif negara adanya celah besar pendataan produksi batu bara antara kementerian teknis dengan kementerian atau lembaga lainnya.

“Dalam data ini akan menjadi acuan kita. Dalam konteks kekayaan negara, ini bagian dari pencatatan berapa sih kekayaan Indonesia. Kalau berbeda-beda, kita tidak memiliki nilai yang valid berapa nilai kekayaan Indonesia,” kata Firdaus seperti dikutip Antara.

Firdaus mencontohkan, perbedaan data penjualan batu bara antara institusi seperti Kementerian Perdagangan, BPS, dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Pada periode 2006-2016, terdapat perbedaan hingga sekitar 520 juta ton.

“Hal tersebut menjadi “loophole” atau lubang,  sehingga berimplikasi terhadap potensi penerimaan negara,” kata dia.

Berdasarkan data ICW, transaksi ekspor batu bara yang tidak dilaporkan pada periode 2006-2016 disinyalir yang terbesar ke China dengan nilai sekitar US$5,31 miliar, kemudian ke Jepang US$3,80 miliar dan Korea Selatan sebesar US$2,66 miliar.

“Terkait besarnya indikasi kerugian negara, maka sudah seharusnya pemerintah menaruh perhatian sangat serius dan segera membenahi celah yang berindikasi kepada kerugian negara dari batu bara,” tegas Firdaus.

Firdaus mengingatkan bahwa indikasi kerugian negara sebesar Rp133,6 triliun itu sangat signifikan digunakan untuk infrastruktur seperti tol dan pelabuhan, juga untuk anggaran kesehatan hingga pendidikan.

Ia juga meminta aparat penegak hukum, khususnya KPK untuk melanjutkan koordinasi dan supervisi sumber daya alam dengan menitikberatkan pada sisi penegakan hukum dan pengembalian kerugian negara.

Yudo Kristono, Direktur Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, menyatakan isu kerugian negara dari ekspor batu bara yang tidak tercatat bukanlah hal yang baru. Hal ini sedang diaudit karena Ditjen Pajak juga membutuhkan dukungan data dari berbagai instansi terkait lainnya.

Menurut Yuli,  pihaknya sudah turun ke sejumlah provinsi dalam rangka memberikan sosialisasi kepatuhan pengusaha pertambangan.

“Ssetelah sosialisasi ada peningkatan penerimaan negara dalam sektor batu bara, ” tandas dia.(AT)