JAKARTA – Rencana PT Adaro Energy Tbk (ADRO), emiten energi terintegrasi, untuk memasok batu bara ke badan usaha milik negara (BUMN) Thailand, Electricity Generating Authority of Thailand (EGAT) masih belum terealisasi akibat tarik ulur rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU).

Garibaldi Thohir, Presiden Direktur Adaro, mengatakan saat ini Adaro masih menunggu secara resmi permintaan pasokan batu bara dari EGAT.

“EGAT juga menunggu investasi jangka panjang ke depan. Dia mau bangun power plant. Kita siap saja kalau misalnya ada demand tambahan. It’s good for Adaro,” kata Garibaldi saat ditemui di Jakarta, Kamis (5/10).

Kebutuhan EGAT akan batu bara cukup besar untuk memasok bahan baku pembangkit listrik berkapasitas 800 megawatt (MW). Namun rencana pembangunan pembangkit di distrik Nua Khlong yang merupakan daerah wisata mengalami tarik ulur karena penolakan dari otoritas pemerhati lingkungan setempat. Dampaknya, rencana konstruksi yang awalnya ditargetkan pada 2021 molor menjadi 2024.

EGAT merupakan BUMN yang selama ini lebih banyak mengembangkan pembangkit listrik tenaga gas. Namun karena pasokan gas yang tidak berkelanjutan akibat ketergantungan terhadap impor, EGAT mulai mengembangkan proyek PLTU.

Thailand membutuhkan batu bara mencapai 25 juta hingga 35 juta ton per tahun. Kebutuhan tersebut hampir sama dengan Malaysia dan Filipina. Malaysia merupakan pasar ekspor terbesar batu bara Adaro yang mencapai 14% dari total penjualan. Disusul kemudian China dan Jepang masing-masing sebesar 11% dan 10%.

Adaro Energy sebelumnya telah merampungkan penjualan saham Adaro Indonesia sebesar 11,53% kepada EGAT melalui skema penerbitan saham baru (rights issue) pada November 2016. Dengan begitu, Adaro mendapatkan dana segar senilai US$ 325 juta atau setara Rp 4,35 triliun.

Dana yang dihimpun dari hasil penerbitan sebanyak 57.857 saham baru (rights issue) tersebut akan dibayarkan EGAT secara bertahap.

Menurut Garibaldi, penundaan peningkatan ekspansi di kawasan ASEAN tidak akan berdampak serius karena kondisi saat ini masih positif. Apalagi dengan mulai merangkaknya harga batu bara.

Pemerintah menetapkan harga batu bara acuan (HBA) periode September 2017 sebesar US$ 92,03 per ton atau naik 9,6% dibandingkan periode Agustus 2017 sebesar US$ 83,97 per ton. Harga tersebut merupakan level tertinggi yang dicapai sepanjang Januari-Agustus 2017 yang mengalami fluktuasi dan rata-rata berada di kisaran US$ 80 per ton.

“Marketnya bagus, realistis saja kita kemarin rencana peningkatan aktivitas prepare for the worst. Tapi karena marketnya bagus, it’s okay,” tandas Garibaldi.(RI)