JAKARTA – PT Pertamina (Persero), badan usaha milik negara di sektor energi terintegrasi, termasuk salah satu perusahaan minyak dan gas bumi papan atas berskala global setelah  membukukan laba bersih sepanjang Januari-September 2016 sebesar US$ 2,83 miliar, naik 209% dibandingkan periode sama 2015 ditopang efisiensi pada seluruh value chain bisnis perusahaan dan juga adanya sinergi yang positif antara downstream,  midstream, dan upstream.

Laba bersih yang diraih Pertamina tersebut bisa disejajarkan dengan perusahaan migas kelas dunia seperti ExxonMobil yang membukukan laba bersih hingga kuartal III 2016 sebesar US$ 6,15 miliar dan Royal Dutch Shell yang mencatatkan laba bersih US$ 3,03 miliar. Kinerja keuangan Pertamina juga jauh di atas Chevron yang merugi US$ 912 juta dan Total SA yang mencatatkan kerugian US$ 382 juta sepanjang Januari-September 2016.

Rhenald Kasali, Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, mengatakan kinerja positif yang ditunjukkan Pertamina memberikan pembelajaran yang baik, khususnya bagi BUMN lain. Jika BUMN dikelola baik bisa memberikan nilai tambah yang besar bagi negera dan BUMN lain bisa belajar dari Pertamina.

“Dengan sinergi dan lainnya yang bertujuan menjadikan perusahaan kuat dan menimbulkan harapan Pertamina akan memiliki kemampuan untuk meleverage finansial. Dengan begitu, Pertamina bisa membiayai eksplorasi karena eksplorasi kan terlalu mahal. Jadi mereka bisa juga ada opsi melakukan eksplorasi di luar negeri yang juga barangkali lebih efisien,” ungkap Rhenald.
Kinerja positif Pertamina

Kinerja cemerlang diperlihatkan oleh sektor hulu Pertamina. Saat biaya produksi dipangkas, sektor downstream justru dapat meningkatkan produksi. Produksi  hulu pada periode hingga kuartal III 2016 mencapai 646 ribu barel setara minyak per hari terdiri atas 309 ribu barel per hari minyak dan 1.953 mmscfd gas. Pencapaian tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 12,3% dibandingkan periode yang sama 2015. Sementara pencapaian produksi listrik panas bumi mencapai 2.233 GwH setara listrik.

Efisiensi biaya operasi hulu sebesar US$834 juta yang menjadi penyokong utama bagi realisasi Breakthrough Project 2016 mencerminkan strategi perusahaan untuk fokus pada lapangan-lapangan kerja yang memberikan dampak finansial besar bagi perusahaan.

Menurut Rhenald, pencapaian kinerja Pertamina tidak lepas dari serangkaian langkah yang dilakukan manajemen di bawah kepemimpinan Dwi Soetjipto dengan mengintegrasikan sistem yang ada.
“Ini yang kemudian terjadi efisiensi pada seluruh value chain bisnis perusahaan. Selama ini rupanya dengan model bisnis yang lama Pertamina banyak lemaknya. Lalu dengan model bisnis baru dan juga pendekatan dari Kementerian  BUMN terbentuklah sesuatu yang sangat sinergistik di dalamnya sangat solid,” ujarnya.

Rhenald mencontohkan efisiensi dalam kilang dan efisiensi dari pengadaan minyak dengan membeli secara langsung tanpa melalui pihak ketiga. Ini merupakan salah satu dampak positif dari pembubaran Petral sehingga membuat Pertamina menjadi lebih lincah dalam bergerak.

“Sekarang kalau mau berhubungan dengan Pertamina harus langsung, tidak bisa lagi melalui perantara atau pihak ketiga. Dengan begitu Pertamina bisa dapat harga minyak terbaik,” katanya.

Inovasi-inovasi pemasaran produk dan layanan unggulan Pertamina, sentralisasi pengadaan hydrocarbon dan non-hydrocarbon, penekanan losses dari program pembenahan tata kelola arus minyak, inisiatif-inisiatif pengolahan, baik efisiensi maupun optimalisasi bottom products, serta pemangkasan biaya operasi kantor pusat pada umumnya memberikan dampak finansial dalam pencapaian target.

Berly Martawardaya, pakar ekonomi energi dari Universitas Indonesia, mengatakan kinerja tersebut menunjukkan Pertamina telah melakukan efisiensi dengan sangat baik.Di tengah harga minyak dunia yang jatuh, BUMN tersebut justru berhasil melakukan penghematan yang luar biasa. “Kalau melihat angkanya), tentu kinerjanya membaik dan program efisiensinya berhasil, strategi manajemennya berhasil,” lanjut dia.
Selain itu, tambah Berly, kinerja finansial  yang sangat moncer pada periode sembilan bulan 2016 karena perusahaan memiliki unit usaha hilir dan distribusi yang lebih stabil profitnya. Ini berbeda dengan kebanyakan perusahaan migas lain yang fokus di hulu yang terkena dampak turunnya harga minyak mentah dunia. “Agar kinerja terus  positif, manajemen Pertamina harus mempertahankan cost efficiencybusiness development, dan juga melanjutkan inovasi,” katanya.

Rhenald menjelaskan Pertamina masih memiliki sejumlah tantangan untuk bisa mempertahankan kinerjanya yang positif ke depan. Selain harus menghadapi harga minyak yang belum menguntungkan, Pertamina juga masih harus menyelesaikan masalah-masalah fasilitas atau aset yang harus diefisiensikan.

“Lalu soal kilang. Ini kan masih ada suara yang menyebut kita tidak perlu bangun kilang. Ini PR dari kelompok-kelompok yang ingin Indonesia tetap membeli BBM dari luar. Pertamina menghadapi media waryang luar biasa,” kata dia.

Rhenald mengatakan pemerintah harus mendukung Pertamina dengan cara memperkuat. Untuk pemangku kepentingan lain seperti komunitas masyarakat juga harus ada kebijakan win win karena masalahnya biasanya sama. “ Seperti pembebasan tanah, pajak masalah regulasi saling bertentangan lalu politik tidak kondusif itu kan tidak menarik bagi siapapun yang berinvestasi,” ujarnya

Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication Pertamina, mengatakan untuk bisa mempertahankan kinerja positif yang dicapai sejauh ini, Pertamina membutuhkan dukungan dari para stakeholder dalam rangka kegiatan ekspansi bisnis Pertamina ke depannya. Raihan laba bersih Pertamina sampai kuartal III 2016 disokong peningkatan kinerja operasi dan efisiensi dari berbagai inisiatif dan langkah terobosan yang dilakukan perusahaan.

Upaya Pertamina dalam melakukan berbagai langkah efisiensi dari berbagai kegiatan inisiatif dan juga langkah terobosan memberikan hasil yang signifikan dalam peningkatan laba bersih perusahaan.

“Pertamina terus fokus dalam mengimplementasikan lima pilar strategi prioritas perusahaan, yaitu pengembangan sektor hulu, efisiensi di semua lini, peningkatan kapasitas kilang dan petrokimia, pengembangan infrastruktur dan marketing, serta perbaikan struktur keuangan,” kata Wianda.(RA/RI)