Infrastruktur penyaluran gas bumi.

Infrastruktur penyaluran gas bumi.

JAKARTA – Selama energi baru terbarukan (EBT) belum dapat dikembangkan secara optimal di Indonesia, diprediksi gas akan tetap menjadi sumber energi antara hingga 50 tahun mendatang. Untuk itu, sangat penting dilakukan pembangunan infrastruktur gas yang masif, diantaranya pipeline (jaringan pipa), kilang LNG skala besar, dan Floating Storage Regasification Unit (FSRU).

Prediksi ini diungkapkan Direktur Gas PT Pertamina (Persero) Hari Karyuliarto di Jakarta, Selasa, 23 Juli 2013. Menurutnya, Pertamina saat ini bukan lagi semata-mata produsen minyak dan gas bumi (migas) baik di sisi hulu maupun hilir. Namun sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Pertamina telah masuk ke dalam bisnis EBT, guna mempercepat akselerasi EBT menjadi base-load energi masa depan.

Untuk itu, kata Hari, harus diperhatikan beberapa aspek pendukung agar pengembangan EBT di Indonesia berlangsung kondusif.  Beberapa aspek itu yang pertama, ialah kebijakan energi nasional. “Dibutuhkan kebijakan energi nasional yang benar-benar mencerminkan komitmen, untuk mengembangkan energi alternatif berkelanjutan, sebagai base-load energi nasional,” ujarnya.

Kedua, lanjut Hari, dibutuhkan regulasi yang benar-benar mendukung. Sejauh ini, ungkapnya, kebijakan energi nasional Indonesia belum terintegrasi. Contohnya terkait konversi bahan bakar minyak (BBM) ke gas, belum diimbangi dengan kebijakan pemanfaatan teknologi bagi kendaraan berbahan bakar gas.

Contoh lainnya, problem terkait wilayah kerja geothermal (panas bumi) yang berada di area konservasi hutan, maupun isu panas bumi yang seolah saling bertentangan dengan pelestarian lingkungan hidup, juga tak kunjung terpecahkan secara tuntas. “Saat ini, kita masih membutuhkan penyelarasan antara kebijakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat, terkait isu energi,” ulasnya.

Ketiga, yang masih harus menjadi perhatian, ialah aspek keekonomian energi alternatif atau EBT. Sampai saat ini, persoalan pricing atau kesenjangan antara harga BBM dan bahan bakar dari energi baru seperti gas, maupun steam (uap) panas bumi serta energi terbarukan lainnya, belum mampu mendorong konsumen untuk beralih dan BBM ke energi baru maupun EBT.

Sepanjang harga BBM yakni disubsidi masih jauh lebih murah ketimbang energi baru maupun EBT yang tidak disubsidi, tentu konsumen tidak akan mau meninggalkan BBM untuk beralih ke energi baru maupun EBT. Insentif (keringanan investasi) untuk proyek-proyek energi alternatif dan EBT juga masih kurang, sehingga sangat berpengaruh terhadap harga jualnya ke konsumen, yang sulit bersaing dengan harga BBM subsidi.

“Insentif untuk proyek-proyek nasional pengembangan energi alternatif baru dan EBT, seperti dalam hal fiskal, perpajakan, dan lain-lain, harus diperhatikan dan diwujudkan untuk dapat mendorong pengembangan energi non BBM di Indonesia,” jelasnya. Lalu yang keempat, sambungnya, dibutuhkan sinergi antar BUMN untuk dapat mengakselerasikan pengembangan energi baru dan EBT.

Senyampang berbagai aspek ini belum terpenuhi sesuai harapan, dan pengembangan pemanfaatan EBT belum cukup optimal di Indonesia, maka menurut Hari, gas merupakan jawaban, sebagai energi antara yang dapat menekan penggunaan BBM, hingga 50 tahun ke depan.

Potensi gas Indonesia sendiri, ujarnya, sangat berlimpah namun tersebar di berbagai pulau, dari ujung barat hingga timur Nusantara. Agar potensi itu dapat dioptimalkan memenuhi kebutuhan energi di dalam negeri, harus didukung dengan pembangunan infrastruktur yang masif. Diantaranya pipeline, big scale LNG plant (kilang LNG skala besar), dan FSRU.

Hari pun memaparkan, gas menjadi pilihan sebagai sumber energi antara, karena sifatnya yang berdekatan dengan EBT, yakni energi bersih. Meski gas masih tergolong energi fosil dan tidak terbarukan, namun emisi karbondioksida yang dihasilkan dari pembakarannya sangat rendah.

Selain itu, potensi produksi gas Indonesia juga masih cukup besar, dibandingkan minyak bumi yang produksinya terus menurun, dan suplainya makin terbatas. “Dulu kan orang ngebor cari minyak, kalau ketemu gas dibuang atau ditinggalkan,” jelasnya.

Baru dalam beberapa dekade belakangan, gas diproduksikan untuk menjadi sumber energi pengganti minyak. Sehingga jumlah cadangannya di Tanah Air masih cukup banyak, dan bisa memenuhi kebutuhan hingga 50 tahun ke depan. Selain itu, harganya pun lebih murah jika dibandingkan dengan BBM.  

Maka dari itu, lanjutnya lagi, kebijakan energi Indonesia sudah harus benar-benar berubah. Kalau sebelumnya gas banyak diekspor, sekarang harus lebih banyak dimanfaatkan di dalam negeri. Kebutuhan gas domestik Indonesia sendiri terus tumbuh 6% – 8% per tahun, dan pemerintah sudah mencanangkan, pada 2025 pemenuhan kebutuhan energi 30% berasal dari gas.

(Abraham Lagaligo / abrahamlagaligo@gmail.com)