LISTRIK menjadi salah satu poin utama dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk itu ketersediaannya menjadi sangat krusial untuk bisa disediakan negara.

Beberapa tahun kebelakang upaya untuk mengejar ketersediaan listrik di tanah air harus diakui cukup masif dikejar. Tentu kita tidak bisa melupakan pencanangan megaproyek 35 ribu megawatt (MW). Meskipun dipastikan tidak sesuai target penyelesaian pada 2019, tapi alasannya pun masih bisa diterima, yakni karena gejolak ekonomi nasional. Pertumbuhan ekonomi yang diasumsikan 7%-8% agar proyek 35 ribu MW berjalan, ternyata hanya terealisasi 5%. Kondisi ini juga diakibatkan pengaruh kuat tidak stabilnya ekonomi dunia.

Untungnya upaya meningkatkan ketersediaan listrik bagi masyarakat tidak ikut terimbas molornya megaproyek 35 ribu MW. Pemerintah berulang kali mengatakan komitmen untuk mempermudah akses kelistrikan, sehingga rasio elektrifikasi juga meningkat.

Data yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), hingga semester pertama 2018, rasio elektrifikasi sudah mencapai 97,13%. Pencapaian tersebut terbilang moncer kalau melihat rekam jejak realisasi rasio elektrifikasi sejak lima tahun lalu.

Jika pada 2012 rasio elektrifikasi baru 76,6%, setahun kemudian meningkat menjadi 80,5%. Hingga menjadi 91,2% pada 2017

Untuk 2018, pemerintah mematok target rasio elektrifikasi sebesar 97,50% dengan komposisi PLN 94,5%, Non-PLN 2,36% dan LTSHE 0,12%.

Realisasi rasio elektrifikasi yang boleh dikatakan positif membuat Ignasius Jonan, Menteri ESDM lebih percaya diri. Ia bahkan tidak segan menyatakan diberbagai forum bahwa akan dikejar agar rasio elektrifikasi 2019 bisa mencapai 99,9%. Target ini tentu jauh dari target yang sempat dicanangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), rasio eletrifikasi dipatok sebesar 97,5% di akhir 2019.

Ini artinya, jika memang target tersebut tercapai maka tidak ada lagi warga negara Indonesia yang tidak mendapat listrik di akhir 2019.

“Saya katakan sangat tidak puas kalau di akhir masa pemerintahan ini (2019), di akhir masa tugas saya itu rasio elektrifikasi mencapai 97,5%. Sekarang sudah dikejar mencapai 97,13%,” kata Jonan, belum lama ini.

Nantinya, dalam strategi percepatan pemerataan rasio elektrifikasi, pemerintah akan fokus dan memusatkan peningkatan elektrifikasi   ke daerah terdepan, terluar dan tertinggal (3T).

Dengan beralihnya fokus rasio dan pemerataan rasio elektrifikasi tersebut maka strategi pun ikut berubah. Dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018-2027 kebutuhan pembangkit listrik dari EBT saja mencapai 14.911 MW.

Fokus pemerintah tidak lagi melulu percepat pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) yang berkapasitas raksasa, maupun Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG). Akan tetapi mulai beralih dan melirik potensi Energi Baru Terbarukan (EBT) yang memang sudah sangat besar.

Jika ditotal data dari Kementerian ESDM, Indonesia memiliki setidaknya enam sumber daya EBT yakni, energi air, surya, panas bumi, angin, bioenergi, dan arus laut. Total potensi kapasitas EBT dari keenam sumber daya tersebut diproyeksikan mencapai 441,7 Gigawatt (GW). Sedangkan, kapasitas yang baru terealisasi saat ini hanya sebesar 8,89 GW.

EBT bukan hal baru, tapi implementasi pembangunan proyek pembangkit gaungnya baru terdengar beberapa tahun kebelakang. EBT dianggap cocok sebagai solusi peningkatan rasio elektrifikasi, harus diingat bahwa wilayah Indonesia merupakan wilayah kepulauan. Belum lagi sebaran penduduk Indonesia juga tidak semua berada di wilayah yang sudah terpasang jaringan listrik PLN. Masih begitu banyak masyarakat yang tinggal di wilayah pedalaman.

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), mengungkapkan dari apa yang sudah dilakukan, pemerintah terlihat sangat serius dan berusaha keras untuk meningkatkan rasio elektrifikasi untuk mencapai target RPJMN. Ini bisa dilihat dalam dua tahun terakhir peningkatan target dalam program elektrifikasi perdesaan oleh PLN, lalu ada pembangunan infrastruktur JTR/JTM di Indonesia Timur, program pra-elektrifikasi seperti Lampu Super Hemat Energi (SEHEN) maupun Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) yang memanfaatkan tenaga matahari.

Menurut Fabby, perbaikan adalah dalam menyediakan pasokan (supply) PLN sebaiknya fokus memanfaatkan sumber energi terbarukan setempat dan mengganti Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD) berbahan bakar BBM dengan pembangkit-pembangkit jenis energi terbarukan yang sumber dayanya tersedia di lokal.

“Potensi sumberdaya lokal untuk pembangkit energi terbarukan masih melimpah,”kata Fabby kepada Dunia Energi, Kamis (30/8).

Menurut dia, berbagai manfaat bisa diperoleh dengan penggunaan EBT tidak hanya mengurangi konsumsi BBM PLN, akan tetapi dalam jangka panjang juga bisa menurunkan Biaya Pokok Produksi (BPP), karena bahan bakunya diperoleh secara gratis karena sudah disediakan oleh alam.

Dalam data PLN sampai dengan Juli 2018, total pembangkit yang beroperasi 55 ribu MW dan sebesar 11,9% adalah EBT. Sementara dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) bauran EBT sudah dikunci sebesar 23% pada 2025. Target tersebut dinilai sesuai dengan target peningkatan elektrifikasi yang mengincar wilayah 3T.

Menurut Fabby, pemerintah juga harus lebih terbuka dalam percepatan rasio tersebut. Wilayah timur Indonesia wajar menjadi fokus, namun jangan sampai masyarakat yang ditinggal di pedalaman wilayah lain juga dilupakan begitu saja.

“Sebenarnya tidak hanya fokus di wilayah timur tapi juga di daerah atau pulau di bagian barat yang rasio elektrifikasi rendah seperti di Nias dan Mentawai, serta Kepri,” ungkap Fabby.

Rida Mulyana, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, mengatakan hingga 2011, dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) telah dibangun paling tidak 739 unit pembangkit EBT diseluruh Indonesia, sebagian besar PLTS.

Andalan terbaru pemerintah untuk capai rasio yakni LTSHE dalam satu tahun kebelakang dikebut pembagiannya. Pada tahun ini saja total ada 1.370 desa, di 16 provinsi yang akan mendapatkan pembagian LTSHE. “Target jumlah kepala keluarga (KK) sekitar 175 ribu lebih KK,” kata Rida.

Dia menambahkan LTSHE bukanlah akhir dari upaya peningkatan elektrifikasi dan penyediaan listrik ke masyarakat. LTSHE hanya sebagai perantara sebelum jaringan listrik PLN benar-benar masuk di wilayah masyarakat yang membutuhkan listrik.

“Memang itu sifatnya pre-elektrifikasi. Sebagai perantara saja sementara yang penting dapat penerangan dulu kan sampai PLN masuk,” kata Rida.

Lebih lanjut Ia menegaskan pembangkit EBT disiapkan untuk bisa listriki wilayah yang belum mendapatkan aliran listrik. Kearifan energi lokal harus diberdayakan,  karena lebih efisien dalam jangka panjang.

“Untuk itu EBT yang kami dorong, karena pas untuk menghasilkan listrik di wilayah pedalaman yang punya potensi EBT,” tandas Rida.(RI)